Tahun ini adalah tahun ketujuh UNESCO memberikan pengakuan kepada batik sebagai pusaka dunia. Kepiawaian dalam membatik memberikan inspirasi serta kreativitas. Semoga di masa mendatang ada kesempatan bersama mempertemukan generasi muda dengan pembatik yang sudah berkreasi dan mempunyai dedikasi tinggi pada dunia perbatikan di Indonesia. Dengan demikian memberikan motivasi dan semangat yang besar bagi generasi muda untuk membangun batik Indonesia terutama batik Rifa’iyah agar tetap lestari.
Bicara batik adalah bicara seni dan budaya. Siapa tidak kenal Pekalongan sebagai industri batik terbesar di Indonesia. Sebagian besar batik Madura, Cirebon, Yogyakarta, hingga Solo diproduksi di Pekalongan. Kelahiran Batik Rifa’iyah yang mengandung nilai budaya dan seni tidak hanya untuk mempertahankan sejarah. Nilai-nilai tersebut masih dipegang oleh keturunannya.
Belum banyak yang tahu bahwa KH Ahmad Rifa’i adalah pahlawan nasional. Ini realita yang ada. Melalui Batik Rifa’iyah kita juga berkesempatan mengetahui pahlawan nasional tersebut. Dikhawatirkan di masa mendatang ada kepentingan bisnis yang memanfaatkan pembatik Rifa’iyah. Biarkan mereka menikmati hasil dari pekerjaan dan warisan leluhur. Jika hanya mengejar omset dan keuntungan, nilai seni itu hilang. Perlu pendampingan agar pembatik Rifa’iyah selamat.
Kain yang selama ini diselesaikan selama tiga bulan dipaksa rampung dalam tempo satu bulan. Tentu merusak nilai. Padahal nilai seni dan budaya tidak bisa diukur dengan uang, hanya bisa dinikmati dengan naluri. Diharapkan orang-orang baik yang punya hati datang untuk mendampingi para pembatik. Melakukan branding dan mempertahankan batik Rifa’iyah. Pekalongan sudah menjadi kota industri batik. Namun sulit mencari kampung batik tulis di sana, apalagi yang memiliki nilai sejarah. Di Batang ada. Kampung Rifa’iyah ini perlu diselamatkan. Harus ada regenerasi sehingga bisa menjadi kampung batik tradisional yang bertahan di tengah gempuran industri batik.
Bicara Batik Rifa’iyah berkaitan erat dengan ketokohan KH Ahmad Rifa’i yang diangkat menjadi pahlawan nasional pada 2004. Ulama kelahiran Kendal, Jawa Tengah pada 1786 itu pernah belajar Islam di Mekah dan Mesir. Kemudian KH Rifa’i membangun pesantren di Jawa. Beliau dikenal sebagai penentang Belanda. Pandangannya itu disebarkan kepada pengikutnya. Hal tersebut membuat dirinya dan pengikut dikejar Belanda. Belanda kemudian menangkap KH Rifa’i dan membuangnya ke Ambon tahun 1869. Pesantrennya diacak-acak dan banyak santrinya pulang. KH Rifa’i meninggal dan dimakamkan di Manado.
Setelah KH Rifa’i diasingkan, murid-muridnya menyebar ke penjuru Jawa. Batik Rifa’iyah merupakan batik yang sebenarnya ada di daerah-daerah persebaran, seperti Pekalongan, Wonosobo, Temanggung, hingga Pati. Komunitas dengan jumlah penganut ajaran Rifa’iyah yang cukup banyak berdiam di Kampung Kalipucang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Salah satu muridnya adalah Ilham yang pulang ke Kalipucang. Ia melihat banyak orang membatik. Ilham kemudian berinisiatif membatik dengan memasukkan ajaran-ajaran KH Rifa’i dalam motif batik yang bermakna manusia harus menjaga kebersihan hati dan membuang sifat-sifat buruk.
Menjadi kewajiban bersama untuk mempertahankan Batik Rifa’iyah agar tetap eksis dan tidak punah. Sebab Batik Rifa’iyah bukan batik industri. Awalnya Batik Rifa’iyah dikerjakan oleh kaum ibu Rifa’iyah sambil mengurus pekerjaan rumah tangga, seperti memasak atau mengasuh anak. Bagi yang berkeluarga, satu kain diselesaikan dalam tempo satu tahun. Sementara bagi yang lajang, satu kain diselesaikan dalam tempo 3-4 bulan. Tradisi yang membuat Batik Rifa’iyah masih tetap eksis adalah adanya semacam adat atau kebiasaan bahwa sebelum pernikahan perempuan membatik untuk calon suaminya sebagai tanda bakti. Membatik dengan penuh khidmat dan cinta yang akan dipersembahkan untuk calon suami. Kain tersebut diberikan saat lamaran.
Mewujudkan Kejayaan Batik Rifa’iyah
Kampung Rifa’iyah masih mempertahankan membatik dengan tradisi kuno. Salah satu tradisi tersebut adalah membatik bolak-balik. Tradisi tersebut sudah lama ditinggalkan oleh pembatik di daerah lain dengan alasan ingin cepat menghasilkan. Anak perempuan di Kampung Rifa’iyah harus bisa membatik untuk melatih kesabaran dan ketelitian. Itu ajaran dari nenek moyang dan nasihat leluhur.
Dahulu para pembatik Rifa’iyah tidak pernah memikirkan harga jual batik. Pasalnya batik diproduksi untuk kebutuhan sendiri. Karena teknik pembuatan Batik Rifa’iyah masih dilakukan dengan cara tradisional, hasilnya tidak semulus dan sesempurna batik printing. Perempuan Rifa’iyah itu dijaga, tidak diperbolehkan keluar. Kemudian mereka diberikan kesempatan membatik di belakang rumah yang tertutup. Batik Rifa’iyah ini multikultural. Kain dipotong di tengah, desain kanan dan kiri berbeda (di Pekalongan istilahnya pagi sore). Selain itu bagian depan dan belakang 100% sama. Betapa luar biasanya kesabaran pembatik Rifa’iyah.
Dalam ajaran Rifa’iyah tidak diperbolehkan menggambarkan hewan secara utuh. Kekhasan batik Rifa’iyah adalah penggambaran hewan yang bagian kepalanya terpengggal (terpisah dari badan) atau motif hewan yang dimutilasi. Ketika membatik kaum perempuan melagukan syair dari kitab KH Rifa’i yang sarat ajaran moral. Mirip dengan orang berdoa, ada penjiwaan. Internalisasi dari nilai Islam agar kita lebih disiplin, berserah diri, dan berdoa secara khusyuk dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara itu membatik tidak hanya menyelesaikan pesanan atau menggambar motif tetapi mendalami ajaran agama. Membatik menjelma menjadi aktivitas sarat makna bahkan mendekati sakral karena pada saat itu mereka sedang mendalami nilai-nilai kemanusiaan.
Batik Rifa’iyah mengandung ajaran Islam yang diimplementasikan dalam bentuk motif dan desain. Batik Rifa’iyah dikerjakan dengan telaten dan sabar. Berserah diri kepada Tuhan sebagaimana kita merencanakan apapun juga hasilnya tidak tahu. Kita hanya berusaha yang terbaik tapi menerima hasil dengan rasa syukur. Ini bagian dari implementasi syariah.
Saat ini karena tuntutan ekonomi, generasi muda memilih jalur cepat dengan bekerja di pabrik. Ditakutkan 5-10 tahun mendatang Batik Rifa’iyah akan punah. Kini jumlah pembatik Rifa’iyah sebanyak 134 orang. Hanya 10 orang yang berusia di bawah 20 tahun, lainnya mendekati senja. Bersyukur Batik Rifa’iyah sekarang sudah menjadi aset Batang. Pada Januari lalu Batang Heritage menyelenggarakan event ‘Merayakan Batik Rifa’iyah’ di kampung batik Kalipucang. Tidak hanya batik, juga ditampilkan seni rebana yang dimainkan kaum laki-laki Rifa’iyah serta pameran foto yang menampilkan profil pembatik yang sudah sepuh.
Batik Rifa’iyah kurang dikenal padahal usianya sudah demikian tua. Dahulu belum ada sistem perdagangan yang secara jelas terlihat. Perdagangan batik lebih intensif sekitar tahun 2000-an. Sebelumnya bukan berarti tidak dijual, melainkan dijual di luar Batang terutama sesama komunitas Rifa’iyah misalnya Temanggung, Cirebon, atau Kendal. Konsumen Batik Rifa’iyah terbagi menjadi jemaah Rifa’iyah, umat Muslim, dan konsumen umum yang melihat kain dengan motif dan warna yang unik serta cocok dengan harganya tanpa perlu tahu isinya.
Promosi Batik Rifa’iyah masih kurang dan cenderung dipakai untuk keperluan ritual atau ibadah. Promosi harus terus dilakukan agar Batik Rifa’iyah dikenal dan memberikan manfaat untuk kesejahteraan pembatik. Kalau promosi terlalu kencang tanpa diikuti dengan kesadaran budaya, nanti bisa menjadi komoditi. Diharapkan banyak dukungan dan partisipasi dari berbagai pihak. Batik Rifa’iyah butuh daya saing dan sentuhan agar bisa dinikmati oleh lebih banyak orang. Proses kultural dan filosofi harus digali, diikuti dengan pengembangan teknik, desain, serta penguatan masyarakat.
Dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, diantaranya Kementeriaan Pariwisata yang mengangkat Kabupaten Batang sebagai satu dari lima pilot project nasional. Kemudian Kabupaten Batang adalah satu dari tiga kabupaten yang akan dikembangkan Bekraf untuk sistem ekonomi kreatif. Itu tidak cukup sebab pengembangan industri batik dan budaya harus berkelanjutan dan intensif serta membutuhkan dukungan tidak hanya dari satu pihak. Masyarakat harus bangkit dan berani. Butuh perubahan dan evolusi mental, kemandirian, kebersamaan, profesionalisme, dan dukungan. Mari semua pihak dari pemerintahan, bisnis, akademisi, budayawan, dan masyarakat sipil bersatu mewujudkan kejayaan Batik Rifa’iyah.
etybudiharjo
13 Oktober 2016Waah…aku juga baru tahu nih kalau ada batik Rifa’iyah…filosofinya kena banget…
Ona
17 Oktober 2016Iya mb Ety. Makna filosofinya kena banget ya. Butuh promosi lebih spy semakin byk org kenal