Sign up with your email address to be the first to know about new products, VIP offers, blog features & more.

Inspirasi Great Giant Foods, Pengabdian bagi Negeri

GGF berkomitmen memperkuat bisnis sekaligus menciptakan sinergi dan harmoni terhadap lingkungan sekitar. (sumber foto: materi webinar GGF)

The miracle of giving. Apabila kekuatan memberi dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas niscaya akan membawa berkah. Demikian aksi Great Giant Foods selama ini yang diyakini semakin memperkuat bisnis serta menciptakan sinergi dan harmoni terhadap lingkungan sekitar.

Pernyataan tersebut disampaikan Sarjono selaku mitra corporate shared value sapi swadana PT Great Giant Livestock (GGL) dalam webinar dengan tema ‘Membangun Sosial Ekonomi Masyarakat melalui Program Kemitraan Perusahaan’ pada 12 Agustus 2020. Sarjono yang juga merupakan ketua Kelompok Limousin Desa Astomulyo, Kecamatan Punggur, Lampung Tengah tersebut bermitra dengan GGL. Kemitraan tersebut dimulai saat perusahaan didirikan pada 1992 melalui Kelompok Brahman. “Saat itu para pendahulu berharap peternakan bisa memberikan tambahan penghasilan selain mengandalkan sektor pertanian,” kata Sarjono.

Selanjutnya pada 2009 Kelompok Limousin bergabung dengan 16 anggota dan 150 ekor sapi. Saat ini terdapat 85 anggota dengan 1500 ekor sapi. Pencapaian tersebut tidak terlepas dari filosofi ‘berbisnis bersama Tuhan’ yang diartikan Sarjono bahwa bisnis itu harus beretika,  tidak semata mencari keuntungan.

Apa alasan Sarjono bergabung dengan GGL? Jaminan pemasaran produk. Sarjono menjelaskan, kemitraan dijalankan dengan mekanisme sebagai berikut, sapi yang dimiliki dari modal perbankan dibeli sesuai dengan kriteria yang ditetapkan perusahaan. Setelah  ditimbang, sapi diberi obat-obatan dan vitamin. Sementara itu peternak menyiapkan dokumen pendukung, seperti KTP, NPWP, dan buku tabungan.

Pada proses pemeliharaan sapi secara bertahap peternak memperoleh pakan utama, yaitu limbah dari kulit nanas yang sudah diproses dan suplemen yang sesuai dengan petunjuk GGL. Metode tersebut menghasilkan pertambahan berat sapi sebesar 1 kg per ekor per hari dalam masa pemeliharaan 4-5 bulan. “Setahun kami bisa panen 2-3 kali,” tutur Sarjono.

Memasuki masa panen, pembeli akan mendatangi peternak. Tidak ada kendala yang ditemui dalam pemasaran sapi. Sarjono mengungkapkan, sapi lokal diminati di Padang dan Bangka Belitung.  Seminggu kemudian dilakukan pencairan dana. “Kami dididik menjadi pembayar pajak yang taat dan bertransaksi dengan bank,” kata Sarjono.

Mitra GGF diharapkan mampu menjadi sosok mandiri yang tidak hanya berorientasi profit juga membawa misi sosial. (sumber foto: materi webinar GGF)

Sarjono menilai, creating shared value (CSV) merupakan bentuk kerja sama yang saling menguntungkan. Potensi peternak yang sangat menjanjikan dengan nilai ekonomi yang tinggi di masa mendatang digarap secara serius dengan fokus kaum muda. Usaha ternak sapi yang semula kurang diminati, dianggap sebagai usaha sampingan yang tidak prestisius sekarang diminati kaum muda. Mereka diberi pelatihan berkelanjutan secara berkelompok hingga mandiri. “Artinya kita didukung oleh anak muda yang bekerja bersama, bergotong royong untuk menciptakan lapangan kerja di desa,” ujar Sarjono.

Terkait hal tersebut, Sarjono mencontohkan kelompoknya yang semula tidak dikenal kini dilatih mandiri oleh GGL. Tujuannya, para mitra tidak bergantung kepada perusahaan dan memiliki posisi tawar yang tinggi di mata perbankan.

Dalam pandangan Sarjono, hal paling krusial yang dihadapi masyarakat sebetulnya bukan  modal melainkan SDM. Oleh karena itu perlu ada revolusi mental melalui pembentukan karakter peternak selain mendapat pelatihan manajemen pakan hingga manajemen finansial. “Kami sangat terbantu dengan program pemberdayaan, capacity building yang dilakukan GGF yang berdampak positif kepada masyarakat sekitar, tidak semata memberikan uang,” ujar Sarjono.

Sarjono berharap, mitra GGF mampu menjadi sosok mandiri yang tidak hanya berorientasi  profit juga membawa misi sosial. Aksi GGF yang menginspirasi mudah-mudahan diadopsi perusahaan lain. Dengan demikian masalah yang dihadapi negeri ini, khususnya ekonomi masyarakat menjadi lebih baik. “Kita bisa menciptakan lapangan kerja sendiri sekaligus membangun negeri tercinta,” tutur Sarjono.

 

Kemitraan

Sejak awal GGF berkomitmen tinggi dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat. Hal ini terwujud dalam program CSR yang tidak sebatas bantuan atau amal tapi lebih menekankan pada program pemberdayaan masyarakat yang komprehensif dan berkelanjutan. GGF percaya bahwa bisnis akan tumbuh seiring dengan peningkatan ekonomi masyarakat sekitar. Selain itu GGF mengadopsi konsep CSV yang bertujuan mengintegrasikan isu dan tantangan sosial dengan kebijakan perusahaan guna meningkatkan nilai kompetisi perusahaan sekaligus memajukan kondisi sosial ekonomi.

GGF percaya bahwa bisnis akan tumbuh seiring dengan peningkatan ekonomi masyarakat sekitar. (sumber foto: materi webinar GGF)

Corporate Affairs Director GGF Welly Soegiono menyampaikan, GGF memiliki sembilan unit bisnis, diantaranya Great Giant Pineapple, Umas Jaya Agrotama, Bromelain Enzime, dan Inbio Tani Nusantara. Semua unit bisnis yang saling terkait itu mengusung konsep zero waste management. “Perusahaan kami ini boleh dibilang mungkin salah satu dari perusahaan di Indonesia yang menerapkan sistem zero waste dan environmental friendly. Tidak ada waste yang terbuang percuma, kami gunakan sebagai sumber daya, renewable resources,” ujar Welly.

Petani binaan GGF saat ini tersebar di Tanggamus, Jembrana, Blitar dan Bener Meriah, menyusul di Bondowoso, Banyuwangi, Garut dan Tasikmalaya. Pembinaan berbasis CSV, yakni kerja sama pendampingan dari hulu sampai hilir tersebut terbukti sukses. Sebagai contoh, petani di Tanggamus berhasil mengekspor pisang mas ke China dan Singapura.

Welly mengutarakan, pembinaan dengan standar internasional ini akan terus dikembangkan guna menciptakan sumber-sumber pertumbuhan di pedesaan dan memunculkan multiplier effect yang bisa dinikmati petani.

Junior Manager Sustainability GGF Gilang M. Nugraha memaparkan, GGF sebagai unit korporasi dari Gunung Sewu Group dalam bidang makanan dan pertanian memasarkan produknya baik di dalam maupun luar negeri dengan melakukan ekspor ke lebih dari 65 negara. Sebagai contoh, nanas kalengan yang diekspor ke berbagai negara seperti Jepang, China, dan Singapura.

GGF memiliki plantation dengan luas 34 ribu hektar di Lampung Tengah dan Lampung Timur. Sementara itu di Tanggamus terdapat kebun yang dimitrakan dengan petani. Petani menanam dan membudidayakan komoditas tertentu yang nantinya dibeli GGF. Beberapa produk GGF yang familiar di pasaran, diantaranya pisang Sunpride, nanas, dan jambu. Pisang Sunpride sering dikira buah impor padahal diproduksi di tanah Lampung dengan metode kultur jaringan. Buah tersebut dijaga kesegarannya dan dikemas dengan baik sampai di tangan konsumen.

GGF mengintegrasikan value sustainability terhadap business strategy perusahaan. Dengan kata lain, GGF ingin menyelesaikan masalah sosial di Lampung khususnya dan Indonesia umumnya. GGF membangun masyarakat yang mandiri dengan pola kemitraan yang dilakukan bersama masyarakat.

CSV bertujuan mengintegrasikan isu dan tantangan sosial dengan kebijakan perusahaan guna meningkatkan nilai kompetisi perusahaan sekaligus memajukan kondisi sosial ekonomi. (sumber foto: materi webinar GGF)

Sebagaimana visi ‘nourishing people’s live with quality foods produced in sustainable and innovative way’, GGF berkomitmen menghadirkan produk yang sehat (pilar great lives), bertanggung jawab menjamin kesejahteraan karyawan maupun masyarakat sekitar sebagai aset GGF (pilar great people), dan berkomitmen terhadap lingkungan (pilar great world). “Di Lampung Tengah terdapat estate yang terdiri dari housing untuk karyawan, fasilitas keagamaan seperti gereja dan pura, hingga healthcare facility untuk menjamin kesehatan karyawan,” ujar Gilang.

GGF juga mengaplikasikan circulan model, sampah yang dihasilkan dari produksi diolah  menjadi kompos yang kembali ke plantation itu sendiri. Gilang mencontohkan, sisa makanan dari kantin mess tidak dibuang. Sampah itu diproduksi menjadi maggot, yaitu pengganti pakan ikan.

Ilustrasi lainnya, buah reject dengan spesifikasi yang tidak diterima pasar tidak akan dibuang ke tempat pembuangan sampah. Perusahaan berusaha menggali potensi di komunitas atau masyarakat dengan memanfaatkan buah reject untuk kegiatan ekonomi di desa. Tujuannya adalah menaikkan taraf ekonomi dan menyejahterakan masyarakat sekitar. Ibu rumah tangga  diberikan pelatihan mengolah produk reject sekaligus menciptakan ekosistem UMKM. Beberapa produk yang dihasilkan, diantaranya keripik pisang, sale pisang, selai pisang dan selai nanas, serta wajik dan dodol dari nanas. “Selain kemitraan di bidang ekonomi, terdapat kemitraan di bidang kesehatan dalam menghadapi isu stunting bersama pemerintah,” kata Gilang.

Gilang memberikan gambaran, petani menghadapi beberapa masalah, salah satunya adalah ketidakpastian pasar yang disebabkan rantai tata niaga yang sangat panjang. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya pendapatan petani.

Permasalahan lainnya adalah produk yang dihasilkan petani tidak memenuhi standar budidaya yang diinginkan pasar. Artinya, capacity building mereka tidak cukup. Di sisi lain Indonesia memiliki kekayaan agrikultur dengan petani yang banyak, lahan yang luas, dan  peluang ekspor. Faktanya saat ini customer lebih memilih produk lokal dibanding impor. Oleh karena itu GGF mengawinkan kebutuhan sosial dan opportunity business dengan aset yang dimiliki. Gilang menilai, CSV lebih luas cakupannya dibanding CSR. “Kami sudah mengelola pisang dari tahun 1990-an. Kami tahu standar budidaya dan teknologi pisang, pasarnya, dan orang-orang yang bisa melatih petani,” ujar Gilang.

GGF mengamati tingginya permintaan masyarakat, tidak hanya pisang, jambu dan nanas. Kesempatan ini bisa dijalin bersama petani dengan memotong rantai yang sangat panjang serta memberikan standar budidaya yang sesuai dengan keinginan pasar dan training yang tepat. Menariknya, pola kemitraan ini bisa meningkatkan income petani tiga kali lipat dibandingkan sebelumnya. “Adanya kebutuhan pepaya dan jambu yang tidak kami tanam melatari kemitraan dengan petani di Lampung Barat yang hasilnya diekspor ke Jepang dalam bentuk cocktail,” ujar Gilang.

Hal yang sama terjadi pada kemitraan sapi setelah mengamati kondisi desa penyangga. GGL yang sudah memulai bisnis livestock sejak 1990-an memberikan capacity building bagi petani dalam aspek obat, vitamin dan campuran pakan yang tepat. Bahkan beberapa peternak mengolah kotoran sapi menjadi biogas yang bisa menggantikan gas elpiji. Cara tersebut dipandang merupakan implementasi circular model di tataran petani.

 

Sinergitas

Head of Local Sourcing PT Sewu Segar Nusantara (SSN) Vera Monika menjelaskan, perusahaan membangun kemitraan yang berjalan bersama dan selaras untuk kemajuan yang lebih baik. CSV didasarkan pada tiga aspek, yakni kebutuhan sosial, pengembangan bisnis, serta corporate asset&capability. “SSN hadir sebagai partner yang dapat dipercaya. Kami punya local farmer sebagai mitra, tenaga ahli dan sales yang kompeten, channel distribusi pemasaran dan marketing ke modern market dan pasar ekspor, serta partnership dengan toko atau pemilik pasar,” ujar Vera.

CSV didasarkan pada tiga aspek, yakni kebutuhan sosial, pengembangan bisnis, serta corporate asset&capability. (sumber foto: materi webinar GGF)

Misi CSV diwujudkan dalam bentuk pengembangan produk dari petani dan pembentukan  sesuatu yang baru. Sebagai contoh, penanaman pisang emas di Dampit yang bekerja sama dengan farmers group. Sarana produksi dan pendampingan kepada petani disediakan untuk mendukung tahap penanaman sampai panen. Selanjutnya SSN membantu menjualkan hasil bumi dari petani.

Sementara itu di Jombang dilakukan penanaman pisang emas yang belum ada sebelumnya. Petani diberikan benih sebagai aset untuk dikembangkan serta sarana produksi, pendampingan dan sosialisasi. Selanjutnya SSN menampung hasil bumi dan menetapkan harga yang bersaing di pasar sehingga petani tidak perlu mengurusi penjualan. Perusahaan menerima hasil bumi petani dari grade tertinggi sampai grade terendah. Hal itu dimaksudkan  membantu petani menjual hasil bumi mereka secara keseluruhan.

Program kemitraan merupakan spirit dan esensi yang diamanatkan dalam UU No. 20/2008 tentang UMKM. (sumber foto: materi webinar GGF)

Kemitraan yang terjalin bertujuan mendapat kontinuitas supply buah-buahan. Dengan demikian pelayanan kepada mitra toko buah berjalan dengan baik dan lancar. Vera menyampaikan, Sunpride memiliki koneksi ke traditional market, modern store menengah ke atas, hingga pasar ekspor. Selain itu perusahaan membangun packing house satellite untuk memudahkan para petani mengirimkan hasil bumi yang fresh ke end customer. Sourcing area difokuskan selain di Lampung juga di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Vera mencontohkan, mitra di Batu, Malang yang setiap minggunya mengirimkan panenan  jeruk baby atau mitra di Lampung, Sukabumi, Cianjur, Sleman, Jombang, Mojokerto, dan Jember yang mengirimkan pepaya. Selanjutnya buah-buah tersebut didistribusikan ke pasar tradisional dan modern market.

Head of Finance GGL Ferdy menjelaskan, program kemitraan merupakan spirit dan esensi yang diamanatkan dalam UU No. 20/2008 tentang UMKM. Seharusnya kemitraan menjadi spirit yang sama untuk perusahaan lainnya. Tentunya dengan menjalankan empat prinsip kemitraan yang mencakup saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.

Setidaknya ada delapan permasalahan yang dihadapi petani dalam perkembangan agribisnis di Indonesia, yaitu keterbatasan lahan, sistem perdagangan, keuangan, infrastruktur, SDM, perlindungan petani, sistem informasi, dan produktivitas pertanian. Keterbatasan itu yang menyebabkan mahalnya harga produk di tingkat konsumen.

Ferdy menilai kemitraan merupakan program yang panjang, tidak akan pernah berhenti, dan harus terus dikembangkan. Butuh keterlibatan semua stakeholder untuk menyukseskan program tersebut. “Kemitraan itu bukan sesuatu yang mudah dan perlu waktu tapi possible. Butuh sinergi semua pihak,” kata Ferdy.