Perayaan Imlek kali ini cukup berbeda. Imlek tidak hanya milik masyarakat Tionghoa. Semua orang tanpa memandang latarnya berkumpul merayakan Imlek dengan cara yang unik. Pembacaan puisi yang mengangkat beragam tema, seperti nian, mata sipit, angpau, hingga dewa keberuntungan. Semakin semarak dengan alunan musik gambang peranakan dan kemeriahan barongsai.
Lagu Jali-Jali yang dibawakan oleh Gambang Peranakan Nanfeng Nusantara membuka acara Open Mic: Gong Xi Gong Xi di Galeri Indonesia Kaya. Acara yang diselenggarakan pada 28 Januari 2017 bertepatan dengan Imlek tersebut diinisiasi Komunitas Unmasked. Komunitas yang berbasis di Jakarta itu secara rutin mengadakan acara pembacaan puisi atau open mic. Penikmat seni dapat turut berpartisipasi membacakan puisi karya mereka. Unmasked digagas oleh Ayu Meutia, Putri Minangsari, Pangeran Siahaan, dan Abdul Qowi Bastian pada 2015. Komunitas ini berharap menjadi sebuah wadah yang besar bagi penikmat puisi di Jakarta.
Tubuhmu yang cantik itu Mei
Yang telah kau persembahkan kepada api sore ‘98 itu
Kupikir waktu akhir
Api cintaimu lalu kecup lekuk-lekukmu
Api mencintaimu lalu lumat-lumat tubuhmu
Habis
Meniadakan warna yang cuma kulit yang cuma ilusi
Tubuhmu yang meronta dan meleleh dalam api itu Mei
Kupikir waktu akhir
Tubuhmu adalah tubuh kami
Ketika tubuhmu hancur dan lebur dengan tubuh bumi
Maka tak akan ada lagi yang mempertanyakan nama dan kulit warna siapapun Mei
Tapi aku salah
Aku salah Mei
19 tahun sehabis tubuhmu mandi api
Seketika akhir tak pernah hadir
Waktu juga kulit
Waktu adalah ilusi
Sebab tubuh-tubuh dusta masih membohongi
Kami masih bakar beda warna kulit
Supaya kebenaran hilang
Supaya kebenaran hilang
Supaya kebenaran hilang
Clarasia Kiky menjadi audience reader pertama yang membawakan puisi Kepada Mei. Puisi tersebut merupakan tanggapan terhadap puisi Mei karya Joko Pinurbo. Vokalis Waktu Jeda itu terinspirasi oleh penulis buku Selamat Menunaikan Ibadah Puisi tersebut.
Seperti apa warna cinta
Apa dia berwarna merah yang menjadi bara diam-diam?
Seperti pemburu yang berhitung mengunci buruan dan mendapatkannya kelak dalam genggaman
Atau dia berwarna kuning kemuning, kemayu malu-malu, menggigit bibir dengan senyum kenes
Melenakan pelan
Seketika tak berkutik dalam jeratan
Atau cinta itu mungkin berwarna hitam
Penuh gelap kedalaman, dasar tak terukur, palung merindu tanpa jejak
Tapi sebenarnya seperti apa warna cinta?
Mungkin seperti baju biru saya yang mengangkasa, jawaban semua doa ketika tak ada lagi yang bisa mencapainya
Atau ia hijau seperti ibu bumi dalam kediamannya yang menerima segala tanpa batas usia
Tapi aku rasa
Aku rasa
Cinta tak berwarna putih apalagi berbalut tasbih
Mungkin, mungkin, mungkin saja pada suatu ketika cinta berwarna putih tapi bukan putih yang
berteriak tentang kitab yang paling tercela tentang Tuhan yang ternoda
Cinta yang putih tidak akan tumpang tindih, merintih, merasa terlalu perih
Jadi seperti apa warna cinta?
Apa ia merah, kuning, hitam, biru, hijau, putih yang bersatu menjadi segala warna?
Atau jangan-jangan dari tadi aku salah mengajukan pertanyaan?
Kurang ajar, puisi ini jadi sia-sia
Lalu aku teringat mukadimah pada kitab kesukaan
Bismillahirrahmanirrahim
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan nama Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang
Cinta adalah Tuhan dalam cahaya kasih dan sayang
Cinta adalah Tuhan dan kita yang diliputi cahaya
Cinta adalah kita semua sebagai cahaya, menuju cahaya, di dalam cahaya
Aku rasa seperti itulah cinta
Puisi tersebut dibacakan Bentara Bumi. Ia adalah penggagas Malam Puisi yang dibentuk di Denpasar. Saat ini Malam Puisi tersebar di 40 kota di Indonesia selain di Jakarta.
Tak Henti Diburu Nian
Putu Fajar Arcana, sastrawan dan penulis yang sudah banyak melahirkan buku kumpulan puisi dan novel, salah satunya Gandamayu yang dipentaskan bersama Teater Garasi pada 2012 di Gedung Kesenian Jakarta. Dalam pandangan Can, demikian ia disapa, menjadi Tionghoa di Indonesia tidak mudah. Penampilan puisi dari Can ini mengisahkan orang Tionghoa pada jaman 2067 SM. Waktu itu ada mitologi nian, monster atau binatang yang selalu datang pada musim gugur. Nian memangsa tanah pertanian, hasil panen, bahkan penduduk. Ketika orang Tionghoa datang ke Indonesia, mereka terus diburu nian. Dari jaman Kutai sampai ke jaman Ahok. Begini bunyi puisi Situs Abad yang Terluka.
Kami mengenangmu sebagai tanah yang jauh
Masa-masa berperahu yang menyedihkan
Bukan cuma karena perang
Hewan dan panenan kami selalu dimangsa nian
Kami memilih pergi
Tak ada harapan di tanah sendiri
Ketika tiba di sini nian tidak juga pergi
Monster itu mengejar kami sebagai anjing tua kudisan yang cuma bisa meringkuk di bawah dipan yang usang
Masa-masa perantauan yang menyedihkan, menyakitkan
Dari Kutai, Singasari, Majapahit sampai Demak
Kaki-kaki kami merentang jejak sejarah
Ketika tiba di pintu kolonialisme
Gubernur Jenderal Valckenier membantai lebih dari 10 ribu saudara kami
Batavia
Batavia yang kami cintai mengalirkan darah
Toko-toko kelontong milik kami jadi situs genosida
Kanal-kanal kota berubah jadi kuburan yang menyedihkan
Kau pikir semua akan berakhir
Tidak kawan
Tidak
Lebih dari 100 ribu saudara kami dihanyutkan dengan kapal-kapal bobrok
Entah tiba atau tidak di tanah asal
Bukan urusan lagi
Soekarno tak membela kami
Ia malah mengusir kami sebagai berandalan komunis
Pasti kau pikir derita kami berakhir di masa Orde Lama itu
Sejak itu lewat surat-surat rahasia hidup kami terbelenggu
Anda tahu ada lebih dari delapan peraturan yang mendiskrimasi orang-orang kami sampai saat ini
Malam-malam cahaya lampion, tarian barongsai bahkan sekadar menghidangkan misua kepada para leluhur
Cuma karena menyalakan hio atau mendengarkan dentang Mandarin kamu bisa dicap subversif
Soeharto bahkan lagi-lagi membawa kami ke rumah jagal
Seekor sapi tak bisa berlindung di balik aturan-aturan
Kami tak henti diburu
Perempuan-perempuan kami diperkosa
Para leluhur kami diperlakukan sebagai binatang yang seolah merebut rejeki kaum pribumi
Begitulah kami mengenangmu nian
Keraksasaanmu kami kira selesai
Bak seorang gadis berbaju merah menakutimu
Kupikir semua akan berakhir menyenangkan
Sampai kami menempuh bermil-mil jarak dan meretas berjam-jam waktu
Kau tetap saja nian
Raksasa mitos yang membuat hidup kami sebagai babi hutan, buruan para pemburu yang kesetanan
Dua dari empat penggagas Komunitas Unmasked tak mau kalah. Ayu Meutia dan Abdul Qowi Bastian membawakan puisi karya kolaborasi mereka. Puisi tersebut tercipta berdasarkan bincang-bincang bersama teman-teman Tionghoa. Ayu dan Abdul ingin membantu menyuarakan perjuangan dan kisah mereka selama ini. Ayu adalah seorang copywriter sekaligus writer on progress atau bakal penulis. Ia menyukai percakapan tentang isu perempuan, toleransi, agama, dan cerita beranjak dewasa. Sementara Abdul adalah seorang jurnalis. Ia peduli terhadap isu keberagaman, pemenuhan hak kaum minoritas, hak asasi manusia, dan politik.
Abdul:
Warisan yang aku terima hanya ini
Sepasang mata sipit yang susah melek
Tak luput dari bahan ejek dipanggil encek
Mereka bilang makan nasi kok pakai sumpit
Memang dimakan berimpit tapi kami bukan orang jelek
Kami punya segala
Cuma nggak punya lesung pipit
Ayu:
Pagi tadi mami cuci mata ke Melawai
Pulang-pulang bawa cem-cem baru
Rapi, belum tersentuh
Dibawa dengan sutra merah penuh ukiran
Katanya ini dipakai buat Imlekan
Tapi kamu lihat dulu
Abdul:
Di rumah dipanggil koko
Malamnya senang ke disko
Kopi Es Tak Kie tempat kongkow
Kopinya ngopi-ngopi ala si engko
Papi kulitnya gelap bagai dakocan
Padahal mukanya mirip Jackie Chan
Ayu:
Mami lebih suka dipanggil tante
Di Mangga Dua ia jual jam rantai
Wangi jeruk Mandarin menyeruak
Satu keranjang cici bawa pulang
Besok rumah ini akan semarak
Dari Jakarta sampai Singapura semua sanak saudara datang
Yang laki-laki harus tampil necis dan apik
Yang perempuan harus dandan cantik-cantik
Kata koko, siapa tahu Mei cepat-cepat dipinang
Tambah langsing
Abdul:
Kenapa tradisi kamu abaikan?
Ayu:
Ketemu jodoh
Abdul:
Kenapa kamu nggak kerja sama papi?
Kekepoan mereka selalu berujung
Siapanya kamu yang Cina
Pipiku merah merona
Bagaimana menjawabnya aku jadi bingung
Lalu aku dibuat termenung
Papi sudah keturunan ketiga
Mami nggak ada yang bisa menduga
Yang Cina dari aku hanya sipit
Mereka langsung berbisik-bisik
Ayu:
Mau jadi Cina, mau jadi Jawa, mau jadi Papua
Beginilah nasib perempuan
Selalu ditanya dan dikhawatirkan
Mau menikah kapan
Jadi tak usah mencecar perbedaan
Kalau yang ketemu ujung-ujungnya adalah persamaan
Karena kebebasan yang kita harapkan tak ada yang mau asing di negeri sendiri
Apalagi harus berlari hingga terasing di negeri orang
Bisakah aku menjadi diriku sendiri
Abdul:
Waktu Orba masih berkuasa Imlek sembunyi di balik kalender
Padahal kami masih satu bangsa
Di sekolah ku dibuat minder
Kecinaanku dimangsa bagi mereka yang bermental Inlander
Ayu:
Dari sudut kamarku di negeri yang jauh aku tersadar
Ternyata bersembunyi bisa juga membuat hati berpeluh
Semoga kelak aku kembali di pangkuan tanah airku Ibu Pertiwi
Abdul:
Kenalpun tidak sama angpau
Baru tahu ketika merantau
Ayu:
Amplop kecil berwarna merah
Lima puluh ribu dua lembar
Abdul dan Ayu:
Tanah air tumpah darah
Jangan sampai keberagaman ini buyar
Identitas yang Seolah Kembali
Audience reader berikutnya Antonia Timmerman. Business analyst itu melisankan puisi Mata Cina dan Pie Susu.
Sipit kata kamu
Cina kamu berbisik
Itu tidak menggangu saya sama sekali
Penghinaan bukan waktu kamu berseloroh kafir
Bukan juga mematok tanda nama liberal, feminis, Ahmadiyah, zionis, perempuan nakal, ateis, komunis, apalagi jomblois
Paling saya cuma cengar-cengir
Tapi gigi saya akan gemeretak ketika kamu melarang saya bicara
Dan mata akan betulan menyipit kalau kamu bilang saya tidak boleh bicara karena jumlahnya seperti saya tidak banyak
Karena saya bukan yang lain
Dan yang lain bukan saya
Kalau kamu bilang bicara saya akan ngawur
Dan akan membikin yang lain ikut melantur
Karena bagian saya yang lain akan membaur
Dan yang lain akan meluntur
Ini bukan masalah kurang atau banyak minum anggur
Tapi sebetulnya otak kamu saja yang menganggur
Jangan juga bilang masalah keadilan sosial karena nasib saya pun sama seperti kamu, sial
Boleh jadi kurang modal
Tapi jangan tinggalkan akal
Tolonglah hidup ini bukan kekal
Jangan sampai ada sesal karena kamu yang brutal
Pie susu datang dalam piring bunga-bunga
Kuning cokelat di tengah
Kuning pucat di batas
Kalau dikunyah yang lain enyah
Hidup kamu lengkap sudah
Lelah dan hambur
Oh Tuhan sujud syukur
Walau pinggang harus tambah ukur
Puisi Perempuan Dewasa Berkerudung Merah dilafalkan Heri Purwoko yang akrab disapa Heriko.
Dia adalah perempuan dengan segala kelengkapan dan gairah
Berjalan sendiri
Menelusuri jejak leluhurnya yang kian samar terhapus sebuah era
Dia perempuan yang tidak kenal kata lelah
Walau telah habis peluh
Bahkan berujung resah
Keyakinannya terlalu kuat untuk hempas dan goyah
Dia perempuan dengan sedikit kata
Nostalgia imajiner membuatnya menelusuri relung kota
Tempat ia tengah melarung tanpa takut dan lupa
Dia perempuan
Sekeras apapun lakunya tetaplah perempuan
Sosok yang selalu diidamkan ibunya sebagai peredam
Juga kehalusan tutur dan pengagum lelaki dalam diam
Sendiri
Perempuan ini masih terus mencari simbol yang tergerus renyahnya mimpi
Identitas yang seolah kembali
Teguh dari Galeri Indonesia Kaya berinisiatif menyuarakan pemikirannya yang dibuat sesaat sebelum tampil.
Ia tepat berada di hadapanku
Menatap dalam tanpa seutas kata
Ia tepat berada di hadapanku
Sesekali memejamkan mata
Kemudian menerawang terbuka
Senyap
Pertemuan ini selalu membuatku tak dapat mendefinisikan
Kehidupan apa yang telah dan akan terjadi kemarin dan esok
Ia tepat berada di hadapanku
Menatapku dalam penuh senyum kesahajaan
Perlahan ia mengelusku
Pelan dan penuh kasih
Dan lagi-lagi tak dapat aku berkata ataupun berbalik menyentuhnya
Ia tepat berada di hadapanku
Membakar ujung hio itu
Menggugam sejumput doa di hadapan meja persembahyangan ini
Terima kasih sayang
Rindumu sampai
Tertanda foto di meja sembahyang
Kebudayaan Nusantara
Pembaca puisi lainnya, antara lain pengamat sosial dan politik Uphie Abdurrahman yang membawakan puisi Angpau, Ruby Astari, Abdul seorang pengungsi dari Afganistan yang bertahun-tahun terdampar dan harus tinggal di refugees assylum di Bogor, hingga Sita yang berasal dari Malaysia dan menetap di Yogyakarta beberapa tahun ini.
Gambang Peranakan Nanfeng Nusantara didirikan pada 2011 oleh Priyanto Chang. Latar belakang pendiriannya adalah hobi bermain musik dan apresiasi terhadap akulturasi budaya. Gambang Peranakan Nanfeng Nusantara mencampurkan banyak alat musik oriental, seperti erhu (semacam biola Cina) dan pipa (semacam gitar Cina) serta alat musik Indonesia, yakni gambang dan kromong. Menurut Ping yang bertindak sebagai vokalis pada sore itu, pada dasarnya gambang dan kromong yang merupakan kebudayaan Betawi jika ditilik merupakan akulturasi dari banyak budaya. Sebenarnya semua lagu bisa digambangkan atau diorientalkan karena memiliki harmonisasi dan ritmis tersendiri. “Musik yang dihasilkan sangat harmonis, fleksibel, dan pentatonik dengan banyak nada. Tidak ada kesulitan sama sekali saat menyatukan dua budaya tersebut,” ujar Ping.
Pada kesempatan tersebut Gambang Peranakan Nanfeng Nusantara menampilkan lagu-lagu Betawi, yakni Jali-Jali, Ondel-Ondel, Kicir-Kicir, Hujan Gerimis Aje, dan Malem Minggu. Ping yang bergabung dengan Gambang Peranakan Nanfeng Nusantara sejak 2015 mengisahkan tidak menyangka apresiasi masyarakat ternyata cukup besar. Saat itu mereka tampil di mall mengangkat lenong yang sudah mendarah daging dengan masyarakat Tionghoa dan pribumi. “Pengalaman tersebut menjadikan kami ingin lebih berkreasi, sebab ini salah satu yang mewakili kebudayaan nusantara,” kata Ping.
Selain pentas di mall, Gambang Peranakan Nanfeng Nusantara juga pernah diundang tampil di Kantor Pelayanan Pajak dalam kurun waktu berkala. Selain bertepatan dengan Imlek, Gambang Peranakan Nanfeng Nusantara dipandang mewakili beberapa wajib pajak yang merupakan orang Tionghoa. Dalam penampilan tersebut mereka juga membawakan misi pajak.
Menanti Datangnya Dewa Keberuntungan
Di akhir acara pembacaan puisi, hadir guest poet Okky Madasari. Pemenang penghargaan Sastra Khatulistiwa tahun 2012 untuk novelnya yang berjudul Maryam tersebut dikenal melalui karyanya yang selalu menggugah kesadaran pembaca. Okky membawakan dua puisi, Tahun Baru Ayam dan Seorang Cina yang Ingin Menjadi Gubernur Jakarta. Bagi Okky, puisi atau seni itu politis sehingga tidak mungkin kita menulis puisi tanpa melihat ada yang tidak beres di sekitar. Puisi kedua hanya menangkap kegelisahan ketika melihat Imlek. “Jangan dianggap kampanye, jangan dianggap saya berpihak pada salah satu kandidat,” pesan Okky diikuti tawa penonton.
Tiap malam tahun baru
Kita adalah ayam-ayam yang ribut berpetok-petok
Berebut remah-remah beras
Merebut angpau-angpau kosong
Mamandang langit dengan bahagia
Karena hujan tak kunjung reda
Meski badan sudah kuyup semua
Setiap malam tahun baru tiba
Bulu-bulu kita berganti warna
Merah untuk keberuntungan
Emas untuk kemakmuran
Ungu untuk menyembunyikan segala kesedihan
Di malam tahun baru
Kita adalah sajian di piring-piring pesta
Menguping percakapan ibu dan anak gadisnya yang masih jomblo
Mendengar paman yang membanggakan jabatan baru
Menyimak nasihat kakek pada cucunya yang sibuk dengan HP baru
Mendengar desah suami istri yang terus ditanyai, ‘sudah isi belum’
Di malam tahun baru kita menghitung setiap denting sendok
Dengan cemas dan berdebar-debar menanti datangnya dewa keberuntungan yang bisa menjawab segala pertanyaan untuk malam tahun baru yang akan datang
Seorang bayi dikelilingi dupa
‘Mau dikasih nama siapa’, tanya bidannya
Bapaknya berbisik, ‘nama Jawa saja’
Pembuat akta bertanya, ‘mau agama apa’
Katolik, Kristen, atau Buddha
Seorang anak tumbuh dalam persembunyian
Ke gereja di hari Minggu
Menyembah leluhur sepanjang waktu
Menyalakan lilin di tahun baru
Makan kue keranjang buatan ibu
Diburu pertanyaan, ‘di mana rumahku’
Seorang pemuda gelisah sepanjang waktu
Suaranya lantang meloncat-loncat di kerongkongan
Ibunya bertanya, ‘mau jadi apa kamu’
‘Mau jadi gubernur bu’, jawab si pemuda sambil menunduk malu
Sebuah keluarga menjelang pemilu
Di antara dupa dan abu
Bapak dan ibu ingin memutar waktu
Si pemuda berlari buru-buru
Memungut sobekan surat kabar
Menghapus satu demi satu makian
Menelan babi, anjing, kafir, dan Cina
Agar tak sampai ke telinga ibu bapaknya
Gong Xi Fa Cai! Semoga tahun 2017 menjadi tahun yang baik untuk kita semua!
Komentar Terbaru