Sign up with your email address to be the first to know about new products, VIP offers, blog features & more.

Kesetiaan Seorang Penjual Koran

Selalu bersyukur menjadi landasannya dalam bekerja. (foto dokumentasi pribadi)

Kepasrahan menjadi pedomannya dalam bekerja. Semua dilakukan demi menyekolahkan anak dan menghidupi keluarga tercinta.

Lapak koran itu letaknya tak jauh dari jalan raya di Sunter, Jakarta Utara. Cukup strategis. Kendaraan umum, motor hingga mobil hilir mudik.

Setiap Minggu pagi aku tak lupa mendatanginya. Membeli tabloid wanita dan surat kabar favoritku. Butuh waktu 7 menit berjalan kaki.

Lima tahun aku menjadi pelanggan aneka media cetak yang ditawarkan Djaelani. Pria kelahiran 1963 itu terlihat sederhana. Kaus dan celana panjang seolah menjadi seragam kerjanya.

Bergantian dengan sang istri, Djaelani menunggu lapak. Pada pukul 7 sampai pukul 12 istri bertugas, selanjutnya Djaelani menjaga sampai pukul 18.30. Dari hari Senin sampai Minggu mereka setia berjualan, kecuali hari libur nasional.

Mulanya Djaelani berjualan di bawah sebuah pohon besar. Hingga suatu hari ia ditawarkan membeli tempat tersebut. Djaelani menolak. Ia pindah ke lapak di seberangnya. “Kalau ada yang minta uang sewa saya kasih seadanya, saya tidak mau ambil pusing,” kata Djaelani.

Tak terasa 30 tahun sudah Djaelani menapaki pekerjaan sebagai penjual koran. Bukan waktu yang sebentar. Sebelumnya Djaelani sempat bekerja memasang onderdil mobil. Tak lama ia memutuskan mundur karena merasa tak nyaman.

Baginya selama kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak bisa terpenuhi itu sudah cukup. (foto dokumentasi pribadi)

Awalnya Djaelani hanya mengambil sedikit koran dari agen di Kemayoran untuk dijual. Semakin lama semakin banyak koran yang dijual. Djaelani juga menawarkan tabloid dan majalah. “Pertama kali berjualan itu karena iseng, diberitahu teman,” tutur Djaelani yang asli Jakarta.

Kini Djaelani mengambil koran dari agen di Pademangan. Ia menilai jaraknya lebih dekat dibanding agen sebelumnya. “Saya bangun jam setengah 5 pagi kemudian ambil koran di agen,” kata Djaelani yang pernah tinggal di Mangga Dua saat kecil.

Djaelani mengungkapkan, dulu bahkan ia berjualan sampai pukul 21.30. Banyak orang membeli koran di lapaknya. Selain mendapatkan berita teraktual, ada orang yang membeli koran untuk mencari informasi lowongan pekerjaan. Ada juga pelajar yang membeli koran untuk kliping tugas sekolah.

Walaupun saat itu ada lima lapak koran yang berdekatan dengannya, Djaelani tak putus harapan. Seiring berjalannya waktu, lapak-lapak itu bangkrut. “Sekarang tersisa tiga lapak koran termasuk saya,” tutur Djaelani, kakek dua cucu.

Sebagai gambaran, dulu Djaelani menjual 300 koran dalam sehari. Ia tidak hanya menawarkan koran itu di lapaknya, juga mengantarkan ke rumah pelanggan. Saat istrinya  menjaga lapak, Djaelani mencari peruntungan dengan menawarkan koran dari orang ke orang atau dari rumah ke rumah hingga ke Pademangan.

Djaelani menyampaikan, pelanggannya terbagi menjadi pelanggan harian dan pelanggan bulanan. Pelanggan bulanan tak sebanyak pelanggan harian. “Warung bakso di depan itu telah berlangganan koran sejak 10 tahun lalu,” kata Djaelani.

 

Cukup

Djaelani mengaku sebenarnya pelanggannya terbilang banyak. Suatu hari ia meminta tolong adiknya mengantarkan koran ke para pelanggan. Adiknya menyatakan bahwa mereka berhenti berlangganan. Ternyata tanpa sepengetahuan Djaelani, 15 pelanggan diambil alih oleh adiknya sendiri. “Sejak itu saya antar sendiri koran ke pelanggan,” kata Djaelani.

Djaelani menjelaskan, dulu sempat ada loper koran yang membagikan koran secara gratis. Cara tersebut ternyata menjatuhkan sesama loper koran. Namun Djaelani melihat peluang mendapatkan koran dengan harga murah. “Saya membeli koran dari dia, dibayar sebulan sekali. Misalnya saya membeli dengan harga Rp 2.500 kemudian dijual Rp 4.000. Saya untung, dia juga untung,” ujar Djaelani.

Jika ada koran yang tersisa akan disimpan untuk hari berikutnya. Djaelani beralasan, terkadang ada orang yang mencari koran lama. Selanjutnya koran lama itu dikembalikan ke agen. “Saya mendapat penghasilan dari setiap koran yang terjual. Dalam sehari saya bisa setor Rp 500 ribu ke agen,” ujar Djaelani sambil menambahkan bahwa tahun 1990-an merupakan puncak penjualan koran.

Berharap selalu sehat agar bisa terus bekerja. (foto dokumentasi pribadi)

Djaelani mengaku tidak pernah menghitung penghasilan yang diterimanya. Menurutnya, selama kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak bisa terpenuhi itu sudah cukup.

Saat ini tiga anaknya telah bekerja dan menikah. “Rumah yang kami tempati dibangun dari hasil berjualan koran. Saya tidak punya pekerjaan lain,” kata Djaelani .

Perkembangan internet nyatanya berdampak pada usaha Djaelani. Perlahan semakin sedikit orang yang membeli koran.  Mereka menilai informasi bisa didapatkan dari internet. “Dua tahun terakhir tidak banyak orang yang membeli koran,” kata Djaelani.

Berdasarkan fakta tersebut sekarang Djaelani mengambil koran sesuai kebutuhan. Jika habis, Djaelani segera menambah stok koran. Ia mengamati, koran ramai dibeli saat pertandingan bola.

Sampai saat ini Djaelani tetap bertahan berjualan koran ketika tidak banyak orang membutuhkannya. Djaelani pasrah pada semua ketetapan Tuhan. “Yang penting niat saya baik. Jika ada orang yang biasa membeli di saya kemudian tidak membeli lagi, saya tidak ambil pusing. Saya yakin ada orang lain yang akan membeli,” ujar Djaelani.

Jauh di lubuk hatinya Djaelani ingin mencoba pekerjaan lain. Apalagi ia melihat penghasilan anaknya yang terbilang besar.

Namun demikian Djaelani selalu bersyukur. Selain jam kerjanya yang cukup singkat, selepas bekerja ia masih bisa berkumpul dengan teman-temannya. “Kendalanya, orang malas keluar saat hujan. Saya juga kedinginan menunggu di lapak, baju basah,” kata Djaelani.

Tinggal di lingkungan padat penduduk dirasa tak mudah bagi Djaelani. Omongan tetangga yang meremehkan pekerjaannya dianggap angin lalu. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. “‘Apa adanya’ menjadi semangat saya untuk tetap berjualan koran sampai detik ini,” kata Djaelani.

Sehari-hari Djaelani aktif di masjid. Terkadang ia menjalankan shalat subuh dan mendengarkan ceramah rohani. Djaelani bersyukur setiap tahunnya mendapatkan bantuan  dari masjid.

Di akhir percakapan Djaelani mengutarakan rencananya berdagang sambilan. Semula ia ingin membuka usaha galon di Bekasi terlebih ada tanah milik anaknya. Namun rencana itu dibatalkan. “Harapannya saya sehat supaya bisa tetap berjualan,” tutur Djaelani.

#AwaliDenganKebaikan merupakan campaign yang diluncurkan Allianz. Melalui campaign tersebut kita bisa menceritakan kebaikan yang dilakukan siapapun di sekitar. Berjuta kebaikan di bumi ini tentunya mampu memberikan energi positif. Harapannya energi tersebut semakin menginspirasi dan memotivasi kita untuk tak jemu berbuat kebaikan.

Sebagai perusahaan penyedia asuransi syariah Indonesia, Allianz berkomitmen mengajak setiap individu berbuat kebaikan. Setiap iuran yang disetorkan nantinya akan dikumpulkan untuk membantu sesama yang terkena musibah, entah itu meninggal, sakit kritis, atau kecelakaan.

Allianz menyediakan beragam produk asuransi syariah yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu. Salah satunya adalah Allisya Protection Plus. Asuransi jiwa unitlink syariah yang tidak hanya memberikan perlindungan maksimal juga potensi nilai investasi untuk keluarga saat Anda tiada.

Allianz Blog Contest