Sign up with your email address to be the first to know about new products, VIP offers, blog features & more.

Hutan Sagu, Sumber Kehidupan Masyarakat Papua

Sumber foto: Youtube Channel EcoNusa Tv

Hidup masyarakat Papua bergantung pada hutan sagu. Sagu adalah kita, kita adalah sagu. Papua itu Indonesia.

“Tanah Papua tanah yang kaya. Surga kecil jatuh ke bumi. Seluas tanah sebanyak madu. Adalah harta harapan.” Lagu ‘Tanah Papua’ yang dinyanyikan penyanyi asal Papua Edo Kondolongit seketika menyambut saya. Menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Jayapura, Papua pada Maret 2013 silam.

Sumber foto: dokumentasi pribadi

Sesaat sebelum pesawat mendarat di Bandara Sentani, dari balik jendela terlihat daratan hijau yang tersebar di lautan tak berbatas. Bukit dengan barisan pohon dan gunung dengan kabutnya. Sepanjang perjalanan menuju kota Jayapura, mata disejukkan dengan keteduhan air Danau Sentani di sisi kanan. Kontras di sisi kiri bukit kapur menjulang menunjukkan kemegahannya.

Jayapura merupakan ibukota Provinsi Papua, provinsi paling timur di Indonesia. Di Jayapura terdapat beberapa objek pariwisata yang tak kalah dengan daerah lain. Sebut saja Skyline, Tugu MacArthur, Jayapura City, Kupang, hingga Stadion Mandala.

Sumber foto: dokumentasi pribadi

Salah satu destinasi yang menarik perhatian saya adalah Tugu MacArthur. Tugu tersebut dapat ditempuh dari kota Jayapura selama 45 menit. Melewati jalan berkelok-kelok, mata dimanjakan dengan pemandangan rimbunnya pohon di kiri dan kanan jalan serta gugusan Pegunungan Cyclops. Dari ketinggian dapat disaksikan Danau Sentani dan aktivitas Bandara Sentani dengan pesawat yang tinggal dan lepas landas. Pengunjung dapat memilih duduk di pondok, kursi, atau rumput.

Pada Perang Dunia II, pasukan sekutu yang dipimpin Kepala Staf Angkatan Darat AS Jenderal Douglas MacArthur tiba di Papua untuk mengusir tentara Jepang yang menduduki wilayah tersebut. Tentara AS menjadikan Ifar Gunung yang sekaligus menjadi lokasi Tugu MacArthur sebagai basis pertahanan. Lokasi tersebut dipilih MacArthur sebab dari atas bukit  terlihat jelas Bandara Sentani dan Danau Sentani. Dengan demikian MacArthur dapat melihat pergerakan pesawat tempurnya.

Secara keseluruhan perjalanan ke Jayapura memberi kesan tersendiri di sanubari. Berinteraksi tidak hanya dengan orang asli Papua, juga dengan pendatang dari daerah lain di Indonesia memberikan wawasan baru untuk mengakui bahwa perbedaan itu indah bila disikapi dengan keterbukaan pikiran dan hati.

 

Hutan Sagu 

Pengalaman tak terlupakan saat berkelana di Jayapura adalah pertama kalinya saya mencicipi papeda. Makanan khas Papua yang terbuat dari sagu tersebut nikmat disantap bersama ikan kuah kuning dan tumis kangkung bunga pepaya.

Bicara mengenai hutan sagu, terdapat 5 juta hektar hutan sagu di Papua yang menunggu untuk didayagunakan. Sungguh suatu potensi yang luar biasa. Hebatnya lagi, pati sagu adalah sumber daya alam yang dapat diperbarui (renewable) dan berkelanjutan (sustainable).

Indonesia memiliki potensi sagu yang sangat besar. Diperkirakan sekitar 5,5 juta hektar dari total luasan area sagu dunia berada di Indonesia. Lebih dari 90% luasan sagu di Indonesia terletak di Provinsi Papua.

 

Sumber foto: Youtube Channel EcoNusa Tv

Sagu adalah sumber pangan endemik yang memiliki banyak keunggulan, diantaranya kandungan indeks glikemik yang rendah membuatnya aman dikonsumsi oleh penderita diabetes. Selain itu tingginya kadar serat dalam sagu berperan sebagai prebiotik yang menjaga mikroflora usus. Mengonsumsi papeda secara rutin dipercaya mampu menghilangkan penyakit batu ginjal dan membersihkan paru-paru secara perlahan.

Sagu merupakan salah satu sumber pangan tertua di dunia. Namun banyak orang termasuk anak-anak tidak mengetahui bentuk pohon sagu. Faktanya di meja makan kita cenderung didominasi pangan yang jauh lebih populer dari sagu. Pangan 100% impor tersebut terbuat dari gandum.

Sagu itu asli Indonesia. Sagu pernah diolah oleh masyarakat di Nusantara puluhan ribu tahun lalu. Kini saatnya kita mengembalikan sagu sebagai sumber pangan penting di tempat yang selayaknya. Sebaiknya kita tidak lagi menganggap sagu sebagai sumber pangan pinggiran yang hanya dikonsumsi masyarakat pedalaman. Bahkan sagu pada masanya pernah dimakan, dikembangkan, dan diolah oleh masyarakat Indonesia dari Aceh sampai Papua, termasuk Jawa.

Sebuah urgensi bagi Indonesia untuk menjadikan keberagaman pangan sebagai strategi ketahanan pangan nasional. Kebijakan pangan nasional hingga kini masih identik dengan beras. Padahal sejak 1952 Soekarno sudah mengingatkan, menitikberatkan kebijakan pangan pada sawah akan sulit memenuhi kebutuhan pangan penduduk negeri ini yang terus membengkak.

Kerentanan pangan Indonesia bisa dikatakan akibat kurangnya pengetahuan dibandingkan kurangnya sumber pangan. Sudah saatnya pemerintah menempuh kebijakan pangan yang berperspektif Nusantara. Dengan demikian tanaman lokal yang terbukti mampu beradaptasi dengan iklim setempat mendapat prioritas, salah satunya sagu.

Sagu adalah pangan pokok asli Papua yang telah menyatu dengan peradaban masyarakat Papua selama ribuan tahun. Sagu memiliki kemampuan adaptasi yang baik sehingga kebal terhadap perubahan musim. Sagu juga tahan terhadap kondisi ekstrem seperti banjir, kekeringan, dan angin kencang. Dibanding beras dan gandum, sagu jauh lebih ramah lingkungan karena dapat menyatu dengan hutan.

 

Hutan sebagai Pusat Edukasi

Alam memberikan kehidupan bagi manusia. Untuk itu manusia harus menjaga dan melestarikannya. Kurang pedulinya masyarakat akan sagu menjadikan tanaman tersebut tidak lagi terawat dan terpelihara dengan baik. Padahal Tuhan menciptakan tumbuhan yang bermanfaat besar bagi kita.

Di antara kerimbunan hutan sagu ternyata pohon ini adalah sumber kehidupan bagi manusia. Nyatanya keberadaan hutan sagu saat ini lambat tapi pasti akan tergerus oleh pembangunan, baik itu untuk perumahan atau pembangunan pabrik dan jalan. Kurangnya respon pemerintah terhadap hutan sagu membuat tanaman ini kurang dihargai masyarakat, baik di Papua maupun di beberapa daerah lainnya di Indonesia.

Sagu adalah ibu bagi manusia. Kita harus terus melekat pada ibu untuk mendapatkan air susu yang baik. Tanpa itu tak mungkin kita tumbuh menjadi anak yang cerdas.  Untuk itu jangan membuat sagu menangis.

Kita bisa membuat aneka kuliner dari hutan sagu. Minimal ada 369 makanan dan minuman olahan berbahan baku sagu.

Sumber foto: antaranews.com

Pada 2017 sejumlah pihak menginisiasi Festival Sagu Papua di Sentani. Festival tersebut dilatari banyaknya hutan sagu yang dibabat habis di Papua, seperti di pinggir jalan Sentani. Hutan sagu di wilayah Sentani Timur, Sentani Tengah hingga wilayah-wilayah lain di Papua perlahan berkurang.

Festival Sagu Papua bertujuan merangkul dan melibatkan suku-suku yang masih memiliki hutan sagu, seperti Korowai, Kombay, dan Asmat. Selain itu diharapkan muncul kepedulian dari masyarakat terhadap hutan sagu. Hutan adalah pusat edukasi untuk semua makhluk hidup. Hutan pula yang memberikan segalanya bagi manusia. Siapapun bisa datang dan mempelajari cara pangkur, ramas sampai mengemas sagu secara tradisional.

Hutan sagu begitu penting bagi masyarakat Papua. Sagu merupakan kearifan lokal yang didengungkan oleh Presiden Jokowi melalui kegiatan-kegiatan yang menjaga ketahanan pangan lokal. Sagu adalah bagian dari ketahanan pangan lokal sekaligus keterwakilan orang Papua.

Masyarakat Sentani menyebut sagu sebagai pohon kehidupan. Bermacam-macam jenis sagu, antara lain sagu khusus mendapat ulat sagu, sagu merah hingga sagu putih. Masyarakat Papua mengajarkan kekayaan tradisi lokal kepada orang luar. Seharusnya kita bangga bahwa pusat penanaman sagu terbesar dunia ada di negara ini. Dengan kata lain, kita harus bisa memanfaatkannya sebaik mungkin.

Hutan adalah pasar atau mall bagi orang Papua, berbelanja tanpa mengeluarkan uang. Hutan adalah toko bangunan, orang Papua bisa membangun rumahnya tanpa mengeluarkan uang. Diharapkan ke depan hutan sagu yang selama ini menjadi resapan air khususnya di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura dijaga dengan baik.

Festival Sagu Papua sebaiknya tidak hanya menjadi event seremonial, juga barometer kelestarian dan kelangsungan hutan sagu. Dengan demikian hutan sagu dapat dikembangkan secara optimal di kemudian hari.

Sagu sebagai makanan pokok di Papua dan sebagian wilayah di Indonesia, seperti Maluku dan NTT sejatinya mendukung ketahanan pangan lokal maupun nasional. Tak hanya itu, terutama mampu membuka lapangan kerja lebih luas untuk mengurangi pengangguran dan  menggerakkan perekonomian Indonesia Timur secara perlahan tapi pasti menuju Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera.

 

Inisiatif Masyarakat

Kabupaten Jayapura memiliki hutan sagu dengan luas 11.700 hektar. Baru 3000-an hektar hutan sagu yang tersentuh oleh manusia, masih banyak yang belum terjamah. Oleh karena itu Festival Sagu Papua sekaligus memberikan spirit atau semangat kepada kita. Terlebih kepala suku telah bersama-sama menyatakan kesungguhannya menggalakkan dan melindungi hutan sagu. Semoga insiatif tersebut menjadi dasar dan semangat yang diteruskan ke kampung-kampung lainnya guna melindungi hutan sagu di Kabupaten Jayapura.

Sagu terbaik di Sentani bisa menjadi contoh untuk daerah lain di Indonesia. Adat Papua tidak bisa dilepaskan dari sagu. Sagu adalah kita, kita adalah sagu. Perangkat adat akan menjaga hutan sagu yang merupakan warisan leluhur.

Festival Sagu Papua merekomendasikan tanggal 21 Juni diperingati sebagai Hari Sagu Papua dan Hari Sagu Nasional, membantu kelompok masyarakat yang peduli akan hutan sagu melalui kebijakan pemerintah, mendukung riset dan penelitian yang berhubungan dengan sagu dan ketahanan pangan lokal, serta meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan sumber daya pangan lokal.

Sumber foto: fajar.co.id

Aksi nyata dari pemanfaatan hutan sagu telah dipraktikkan Kelompok Tani Dwitrap Kampung Tambat, Merauke dengan memanfaatkan mesin untuk mempercepat proses pengolahan sagu. Hasilnya pekerjaan menjadi lebih cepat dan produksi meningkat.

Kelompok tani menebang pohon sagu yang telah berusia 15 tahun. Selanjutnya pohon sagu yang telah dipotong menjadi bagian-bagian kecil dibersihkan selama 15 menit. Kemudian proses menguliti sagu yang membutuhkan waktu 1 jam. Selanjutnya pohon sagu diangkut ke tempat pencucian untuk dibersihkan dari sisa pasir dan tanah.

Kelompok tani yang beranggotakan 25 orang tersebut terdiri dari 20 perempuan dan 5 lelaki. Mereka lalu melakukan pemarutan dan pengayakan yang hasilnya ditampung di ember. Selanjutnya dilakukan peramasan menggunakan mesin selama 4 jam. Kemudian dilakukan pengeringan sagu menggunakan alat hingga halus. Selanjutnya dilakukan penjemuran selama 3-4 hari hingga dihasilkan tepung sagu. Hasil produksi tersebut dipasarkan di Merauke, Jakarta, Semarang, Ketapang, Kendari, dan Surabaya.

Inisiatif lainnya datang dari Hutan Sagu Yephakra yang merupakan hutan wisata di Toware, Kampung Kwadeware, Sentani. Hutan wisata tersebut dikelola masyarakat yang bekerja sama dengan lembaga setempat. Selain menghadirkan suasana lingkungan yang menarik, Hutan Sagu Yephakra memberikan jaminan keamanan serta fasilitas toilet dan area kuliner yang menghadirkan makanan berbahan tepung sagu.

Sumber foto: wartawisata.id dan jubi.co.id

Hutan Sagu Yephakra terletak di tepi jalan raya yang berjarak 3 km dari Sentani. Hutan sagu tersebut  juga berdekatan dengan lokasi wisata Pantai Patou dan Danau Sentani.

Melalui inisiatif tersebut masyarakat Sentani diajari cara mengelola pohon sagu sampai pemasaran berbasis komunitas. Pembudidayaan tanaman sagu dilakukan dengan baik dan benar mengingat selama ini masih dilakukan secara swadaya. Tentunya langkah tersebut dapat menunjang perekonomian masyarakat itu sendiri.

Siapapun yang ingin mengelola hutan sagu di Kabupaten Jayapura diharapkan mengutamakan kelestariannya. Diutamakan hutan sagu itu terpelihara dengan baik.

Sumber foto: jubi.co.id

Berbeda halnya dengan masyarakat di Kampung Yoboi, Kehiran, Sentani yang masih melakukan pengolahan sagu secara alami. Tak jarang mereka mengajak anak-anak membantu meramas sagu dari satu area ke area lain di hutan tersebut.

Angin sepoi-sepoi membelai lembut daun dan ilalang yang tumbuh di tepian kolam. Air kecoklatan tertampung di kolam itu, siap ditimba guna membantu proses ramas sagu di hutan. Anak-anak asyik mengumpulkan ulat sagu dari hasil tebang sagu sebelumnya atau mengumpulkan jamur sagu yang tumbuh liar di antara ampas. Ampas sagu yang dibiarkan terkena panas atau hujan akan berubah menjadi  jamur sagu yang sungguh nikmat.

Semak belukar yang rimbun di antara batang sagu yang berusia belasan tahun menjadi tempat kaum ibu dan anak-anak melepas lelah sambil menunggu bongkahan batang sagu yang tengah dibelah hingga seukuran betis manusia.

Dahulu masyarat menggunakan alat tokok sagu yang memakan waktu berhari-hari untuk memarut satu batang sagu yang berusia di atas 15 tahun. Namun keberadaan alat parut kelapa yang dimodifikasi dengan mengganti mata pisau alat tersebut hingga menjadi alat parut sagu membuat keseluruhan proses menjadi lebih mudah dan hemat waktu. Selain itu pati yang dihasilkan akan semakin banyak.

Kegiatan memarut atau pangkur sagu dilakukan kaum pria. Kemudian anak-anak  memisahkan serabut kasar dengan serpihan halus (orang Sentani menyebutnya mele). Permintaan sagu terbilang cukup tinggi dari pasar di Sentani. Menurut penjual, hasil pati sagu dari Sentani khususnya Kampung Yoboi sangat baik. Namun proses dan waktu yang panjang membuat permintaan tersebut tidak selalu dipenuhi masyarakat.

Menurut masyarakat, hutan sagu di Sentani mulai berkurang karena sebagian masyarakat menjual lahan dan mendirikan ruko. Sementara itu sebagian masyarakat lainnya memilih mempertahankan lahannya untuk mencari tambahan biaya hidup dari batang-batang sagu. Satu batang sagu dengan usia di atas 15 tahun akan menghasilkan 8-9 karung dengan berat mencapai 50 kg.

 

Bergerak Bersama

Kekayaan alam Indonesia membuat kita sadar untuk merawatnya. EcoNusa merupakan salah satu organisasi yang peduli terhadap lingkungan di Papua. Yayasan yang berdiri pada 21 Juli 2017 tersebut berfokus pada isu-isu lingkungan, terutama isu hutan khususnya di wilayah timur Indonesia, masyarakat adat, dan laut di Indonesia.

Sumber foto: www.econusa.id

EcoNusa dibentuk dengan tujuan mendorong upaya penyelamatan hutan terutama hutan yang tersisa di Indonesia yang sebagian besar berada di wilayah timur Indonesia, seperti Maluku dan Papua. Hutan tersebut harus dijaga untuk masa depan kita bersama. EcoNusa juga mendukung upaya-upaya masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan terutama masyarakat adat.

Mengapa hutan menjadi isu yang penting? Isu yang sekarang dihadapi bersama adalah perubahan iklim secara global. Sekitar 30% emisi gas rumah kaca berasal dari deforestasi.

Indonesia termasuk negara yang menyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Artinya jika deforestasi itu tidak ditangani dengan baik, tentu permasalahan perubahan iklim yang terkait dengan ketahanan pangan dan air tidak akan terselesaikan dan terus mengancam kehidupan di Indonesia dan dunia.

Kendaraan yang bernama EcoNusa ini diharapkan mampu mencapai tujuan-tujuan penyelamatan hutan dan keberlanjutan laut di Indonesia. Sebagai organisasi yang masih terbilang baru, sejauh ini masyarakat menyambut baik inisiatif yang diusung EcoNusa,  misalnya ecotourism di Raja Ampat dan pengembangan komunitas di beberapa kabupaten di Papua.

Di Papua sendiri EcoNusa mendukung upaya pemerintah dalam pembangunan berkelanjutan. Pemda juga menanggapi positif dukungan yang diberikan EcoNusa. Sementara itu di tingkat nasional EcoNusa fokus pada isu laut, khususnya penyebaran informasi dalam pengurangan sampah plastik.

Salah satu kegiatan yang dilakukan EcoNusa terkait dengan hutan bakau atau mangrove di Raja Ampat. Sebenarnya masyarakat di tingkat kampung sudah memiliki pengetahuan terhadap upaya pelestarian bakau. EcoNusa hanya mendorong praktik pengetahuan lokal tersebut.

Hampir semua kampung di Raja Ampat sudah memiliki kearifan lokal terkait mangrove. Namun terkadang orang kota yang merusaknya dengan cenderung menguasai sumber daya yang ada. Untuk itu EcoNusa terus melakukan pendampingan terkait pelestarian mangrove yang efeknya tidak hanya dirasakan masyarakat lokal, juga masyarakat Indonesia dan dunia.

Selain pembibitan dan penanaman mangrove, EcoNusa membantu masyarakat dalam kegiatan pariwisata berbasis mangrove. Tujuannya wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat juga mendatangi destinasi tersebut. Hutan mangrove dipandang memiliki nilai ekonomi yang bisa berkontribusi dalam kehidupan masyarakat.

Dinamika selalu ada. Walaupun demikian EcoNusa tetap bertahan, semangat membela lingkungan, semangat membela masyarakat yang termarjinalkan dan semangat memperbaiki Indonesia. Jika masyarakat memiliki kesadaran yang kuat bahwa kita tinggal di bumi yang sama, kita pasti dapat bergerak bersama untuk mencapai semua tujuan itu.