Sign up with your email address to be the first to know about new products, VIP offers, blog features & more.

Urgensi Peran Perempuan dalam Pengelolaan Hutan

(ki-ka) WALHI Champion Sri Hartati, Perwakilan Eksekutif Nasional WALHI Khalisa Khalid, WALHI Champion Tresna Usman Kamaruddin, dan Food Blogger Windy Iwandi. (foto dokumentasi pribadi)

Penjaga hutan, penyelamat hutan. Peran perempuan yang sangat luar biasa. Hutan yang dikelola perempuan diyakini akan jauh lebih adil dan lestari.

Demikian pernyataan Perwakilan Eksekutif  Nasional WALHI Khalisa Khalid dalam Forest Cuisine Blogger Gathering yang diadakan pada 29 Februari 2020 lalu. Pada kesempatan tersebut perempuan yang akrab disapa Alin itu menjelaskan, dalam kesehariannya perempuan berperan sangat besar dalam praktik pengelolaan hutan yang berkelanjutan. “Kalau hutan terjaga tentunya kita yang tinggal di kota mendapat manfaat,” kata Alin.

Alin mencontohkan salah satu rimba terakhir, satu-satunya hutan yang tersisa di Kalimantan Barat yang dijaga perempuan. Sementara itu hutan lainnya telah ditanami sawit. Komunitas perempuan itu begitu kuat mempertahankan hutannya.

Kemeriahan Forest Cuisine Blogger Gathering. (sumber foto: Blogger Perempuan Network)

Bagaimana perempuan mengelola hutan? Salah satu bentuknya adalah menjaga pangan keluarga. Jika sekarang pemerintah memikirkan cara melawan stunting, Alin mengilustrasikan sebenarnya perempuan telah lama bergantung pada pangan di pekarangan rumahnya. Selain itu perempuan di pedesaan juga mengolah hasil hutan nonkayu seperti rotan. “Mungkin pemerintah bisa mendukung ekonomi yang dibangun perempuan,” tutur Alin.

Hutan juga dimanfaatkan perempuan sebagai apotek keluarga, misalnya tembawang. Tembawang merupakan sebidang lahan beserta tumbuhannya yang dimiliki masyarakat Dayak. Dengan kata lain, kesehatan komunitas di kampung bisa didukung dengan tersedianya produk hutan sebagai obat.

Sungai yang terlihat mengalir jernih dengan ikan berwarna-warni berpotensi menjadi sumber energi mikrohidro. Alin mencontohkan masyarakat adat di salah satu dusun yang sedang mempertahankan wilayahnya dari ancaman sawit dan tambang berinisiatif  menghadirkan  sumber energi mikrohidro. “Sudah banyak  inisiatif seperti ini hingga ke pelosok. Apakah kita mau mendukung atau tidak,” kata Alin.

Fetucini Mushroom Ragout. (foto dokumentasi pribadi)

Alin memaparkan, selama ini hutan dipandang hanya berhubungan dengan pohon. Padahal hutan adalah kesatuan ekosistem yang terdiri dari tumbuhan dan hewan, termasuk di dalamnya sumber pangan dan tanaman obat.

Belajar mengenal bahan pangan. (foto dokumentasi pribadi)

Hutan juga meliputi kebudayaan. Biasanya di dalam atau sekitar hutan berdiam masyarakat adat. Sesungguhnya hutan melekat pada identitas masyarakat adat. Bila hutan musnah, musnah pula masyarakat adat. “Hutan adalah ruang hidup bagi manusia, tumbuhan, dan hewan. Hutan tak ubahnya apotek, supermarket, atau dapur bagi mereka,” ujar Alin.

Nyatanya kekayaan hutan yang beragam juga dikonsumsi masyarakat di kota. Namun dampak kebakaran hutan yang sangat besar mengancam ketersediaan sumber pangan di hutan. Dampak lainnya adalah risiko yang tinggi pada kesehatan bayi dan balita. “Tak hanya hutan yang terbakar, ekosistem gambut ikut terbakar. Gambut juga sumber pangan bagi komunitas,” ujar Alin.

Mari bersama kita mendorong keberpihakan tata kelola hutan untuk perempuan. (foto dokumentasi pribadi)

Hutan juga berfungi sebagai sumber pengetahuan bagi perempuan. Kebakaran hutan berimbas pada hilangnya pengetahuan. Terkadang masyarakat adat dikultuskan oleh pemerintah dengan menampilkan foto yang bagus. Faktanya identitas dan kebudayaan mereka diruntuhkan dengan hancurnya hutan. “Masyarakat adat mempunyai kearifan lokal yang terkait dengan nilai-nilai hidup,” tutur Alin.

 

Keterlibatan Perempuan

Peran pemanfaatan hutan yang dilakukan perempuan digambarkan pada sosok WALHI Champion Sri Hartati dari Sumatera Barat. Tati demikian panggilannya menyampaikan, dirinya sebagai bundo kanduang terlibat dalam menjaga hutan. Tati menyayangkan kasus kebakaran hutan di Kalimantan. “Alhamdulillah pemuda dan petani di kampung kami semangat menjaga hutan lestari,” tutur Tati.

Tati bersyukur atas pendampingan yang diberikan WALHI sehubungan dengan terpilihnya dirinya sebagai bundo kandung nagari selama lima tahun ke depan. Beliau merasa bisa lebih berkembang misalnya dalam hal komunikasi.

Sirup pala yang memanfaatkan limbah kulit buah pala. (foto dokumentasi pribadi)

Tati aktif di program Pengelolaan Hutan untuk Kesejahteraan Perempuan bersama WALHI Sumatera Barat dan Women Research Institute. Beliau mengembangkan olahan dari buah pala menjadi sirup, selai, dan minuman segar (siap minum).

Buah pala berkualitas terbaik selama ini dikenal berasal dari Maluku. Buah pala ternyata  tumbuh pula di Sumatera Barat.

Tati mengutarakan, sebelum program WALHI berjalan di kampungnya, masyarakat sebatas mengetahui buah pala hanya diambil bijinya untuk pembuatan rendang. Sementara itu kulitnya dibuang. “Ternyata kulit pala yang selama ini menjadi limbah bisa diolah menjadi ekonomi kreatif kaum ibu. Modal membeli bahan-bahan juga dikumpulkan para ibu,” ujar Tati.

Butuh berulang kali percobaan untuk menemukan rasa olahan pala yang tepat. Sosialisasi pengolahan hingga kemasan produk dilakukan WALHI tanpa henti.

Seiring berjalannya waktu para ibu merasakan usaha tersebut bisa menambah pendapatan keluarga. Kini mereka punya uang jajan sendiri, tidak sekadar bergantung pada suami. Namun usaha itu tak luput dari tantangan. “Hingga sekarang ada 66 anggota,” tutur Tati.

Tati mengaku belum berani memproduksi minuman segar karena hanya bisa bertahan satu minggu. Saat ini hanya diproduksi sirop yang mampu bertahan enam bulan “Kami juga belum berani memproduksi selai karena hanya bertahan satu bulan. Kami tidak menggunakan pengawet,” ujar Tati.

Hutan tak ubahnya apotek, supermarket, atau dapur bagi masyarakat. (foto dokumentasi pribadi)

Dinamika perempuan penjaga hutan lainnya ditunjukkan WALHI Champion Tresna Usman Kamaruddin. Empat tahun terakhir Tresna memperjuangkan pemberian ijin dari pemerintah kepada komunitas atau masyarakat di sekitar hutan Kelurahan Sakuli, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Tujuannya masyarakat dapat mengelola hutannya sendiri dengan menanam berbagai sumber pangan.

Perjuangan Tresna dilatari pengamatannya terhadap tanah kelahirannya yang memiliki banyak potensi. Terlebih para pemuda yang bersemangat dan bangga menjadi petani. Sayangnya mereka tidak mempunyai lahan.

Mengapa Tresna terpanggil memperjuangkan hutan di Kolaka? Walaupun kini tinggal di Depok, Tresna teringat pada kakeknya yang berprofesi sebagai petani. Ia pun menyukai pertanian dan alam. Dalam pandangan Tresna, banyak hal yang bisa dikelola di hutan, diantaranya tanaman yang bermanfaat besar untuk masyarakat sekitar hutan.

Pemuda menjadi pendorong utama aksi Tresna. Mereka membutuhkan wadah untuk mengelola hutan yang dinilai bisa menunjang masa depan. “Para pemuda menanam cengkeh, lada, serai, hingga jahe,” tutur Tresna.

Permasalahannya adalah market dan akses mengelola hutan. Tresna mengungkapkan, ada kebijakan pemerintah yang menghalangi. Namun situasi tersebut tidak memadamkan semangat mereka.

Aksi Tresna lainnya adalah memberikan edukasi kapada beberapa ibu untuk mengelola sampah plastik yang didominasi teh gelas menjadi barang yang bermanfaat dan bernilai jual. Diharapkan hasilnya bisa menambah uang saku para ibu.

Hutan berfungi sebagai sumber pengetahuan bagi perempuan. (foto dokumentasi pribadi)

Tresna berbagi kisah, sejak divonis mengidap kanker pada 2012 ia memilih menghabiskan lebih banyak waktu di alam. Tresna berkomunikasi dengan pohon yang ditanamnya sendiri. “Saya merasakan sendiri manfaat hutan yang luar biasa,” tutur Tresna.

Tresna mengajak teman-teman di Sulawesi untuk menjaga hutan melalui gerakan menanam pohon, salah satunya pohon sagu. Tresna terkenang akan masa kecilnya yang dikelilingi  banyak pohon di sekitar rumah. Kini pohon itu tak bersisa.

Sebagai sumber pangan alam, sagu dinilai Tresna merupakan pengganti beras seperti papeda. Tresna juga mencontohkan olahan sagu di Sulawesi yang menyerupai cireng dengan rasa yang renyah. Sayangnya makanan masa kecilnya itu sekarang jarang dijumpai. “Bersama para ibu kami mencoba menghidupkan, mengangkat kembali olahan sagu tersebut,” kata Tresna.

Perempuan berperan menjaga pangan keluarga. (foto dokumentasi pribadi)

Pada kesempatan tersebut hadir juga Food Blogger Windy Iwandi. Usai mendengarkan paparan dari Tati dan Tresna, Windy berterima kasih kepada para pejuang hutan tersebut.  Windy mengaku olahan sagu seperti papeda yang dimakan bersama kuah asam adalah menu favoritnya. Walaupun seorang food blogger, Windy berusaha mengurangi konsumsi daging.  Sebagai pecinta binatang, Windy mencurahkan perhatiannya ke hutan. “Udara yang sejuk dan makanan di hutan bisa membuat kita yang sakit berangsur sembuh,” kata Windy.

Windy menceritakan pengalamannya berwisata ke Tanjung Puting. Orang Indonesia harus bangga dengan hutan yang bagus. Faktanya kebanyakan turis berasal dari Eropa. “Teman aku yang tinggal di Kalimantan bahkan belum pernah ke Tanjung Puting. Menurutnya biasa saja,” kata Windy.

Windy sendiri merasa puas selama berada di Tanjung Puting. Ia bisa menikmati duren yang jatuh dari pohon. Air di sungai pun diminumnya. Sebagai seorang influencer yang membutuhkan koneksi internet, Windy merasa senang berada di hutan. “Semakin nggak ada sinyal di hutan semakin bagus. Itu salah satu cara saya liburan. Hutan Indonesia itu bagus sekali, please jangan dirusak,” ujar Windy yang April nanti berencana membantu mempromosikan hutan di Sulawesi Tengah.

 

Bergerak Bersama

Alin mengelaborasi, tantangan pemenuhan kebutuhan pangan itu berat apalagi politik pangan. Impor pangan itu sebenarnya ironi mengingat Indonesia merupakan negara dengan hutan tropis ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo. Artinya sumber pangan kita melimpah. Ancaman gizi buruk kini terjadi di pedesaan. Penyebabnya masyarakat desa tidak mengonsumsi hasil produksi petani. Justru produk yang bagus dibawa ke kota. “Pengetahuan modern merekayasa dengan pandangan ‘mereka yang tidak makan mie instan tidak modern’. Distribusi  mie instan menjangkau hingga ke pelosok,” ujar Alin.

Alin menyarankan masyarakat desa mengonsumsi pangan yang ditanamnya sendiri. Setelah kebutuhan pangan keluarga terpenuhi, mereka bisa menawarkannya ke tetangga atau desa lainnya.

Berbeda halnya dengan Jakarta yang tidak memiliki kedaulatan pangan. Perlu ada solidaritas warga Jakarta sehingga petani terus berproduksi dengan baik. Setidaknya pemerintah mendukung petani untuk berproduksi. “Pangan hutan yang lestari tentu bisa mencukupi kebutuhan tanpa kita berbondong-bondong mendatangkan pangan dari luar,” kata Alin.

Keseruan memasak bersama. (sumber foto: Dian Farida)

Apa yang bisa dilakukan masyarakat kota untuk menjaga hutan? Banyak sekali cara yang bisa digiatkan, pertama, bijak dengan apapun yang dikonsumsi. Alin menyampaikan, biasanya produsen takut pada konsumen. Bagaimana kita bisa menjadi konsumen yang kritis dengan produk yang dikonsumsi? Apakah kita perlu produk itu?

Hambatannya adalah terkadang kita terpengaruh iklan. Bagaimana kita menentukan atau mengontrol produk yang dikonsumsi. Tindakan tersebut sejatinya sangat membantu kita dalam menjaga hutan.

Para blogger bersama Chef William Gozali (sumber foto: Irene Komala)

Kedua, konsumsi hasil produksi petani. Selama ini kita hanya mengetahui produk perusahaan  besar. Padahal saat ini sudah banyak alternatif yang dikelola komunitas. Produk komunitas  sekilas lebih mahal sebab belum banyak dukungan dari pemerintah. “Ketika membeli produk yang dihasilkan komunitas, kita mendukung ekonomi komunitas itu,” kata Alin.

Alin menjabarkan, Wilayah Kelola Rakyat (WKR) adalah sebuah inisiatif WALHI terhadap metode pengelolaan alam yang selama ini cenderung monokultur atau pertanaman tunggal.  Selain itu terkait dengan penguasaan perusahaan besar sehingga banyak petani terutama di Jawa tidak memiliki tanah. “WKR yang merupakan kesatuan tata kelola, produksi, dan konsumsi berusaha mengubah situasi yang semula tidak adil menjadi adil,” ujar Alin.

Perempuan penjaga hutan, penyelamat hutan. (foto dokumentasi pribadi)

Sehubungan dengan Rimba Terakhir, Alin mengemukakan masyarakat baik yang tinggal di dalam dan sekitar hutan maupun masyarakat yang tinggal di kota sangat tergantung pada hutan. Oleh karena itu kita semua harus bergerak untuk menyelamatkan rimba terakhir.

Hutan yang rusak di hulu berbuntut pada terjadinya banjir atau longsor. Demikian pula dengan kebakaran hutan yang merupakan bencana ekologis. Eksesnya dirasakan oleh kita semua. “Bencana ekologis adalah bencana yang timbul akibat salah urus mengelola alam ini,” kata Alin.

Untuk direnungkan, perempuan sangat dekat dengan kebutuhan pangan yang diambil dari alam. Kebutuhan pangan menyangkut kebutuhan mendasar hidup kita. Dorongan advokasi diharapkan mampu meningkatkan kapasitas perempuan dalam hal kompetensi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan di desa. Selain itu mendorong perempuan lebih partisipatif. Pasalnya, dampak  pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak mengakibatkan perempuan kesulitan mengakses kebutuhan sehari-hari.

Mari bersama kita mendorong keberpihakan tata kelola hutan untuk perempuan. Mulailah dari sekarang!

Mari dukung donasi publik untuk hutan yang lestari. (foto dokumentasi pribadi)