Sign up with your email address to be the first to know about new products, VIP offers, blog features & more.

Identitas Diri di Sepiring Sambal

Most of us have fond memories of food from our childhood. Whether it was our mom’s homemade lasagna or a memorable chocolate birthday cake, food has a way of transporting us back to the past. -Hamaro Cantu-

Membaca quote tersebut serasa aku terlempar ke masa kecil. Indah dipenuhi canda tawa. Dikelilingi keluarga dengan limpahan kasih sayang. Termasuk makanan lezat olahan tangan mama tercinta. Beliau tak pernah lupa menyertakan sambal. Sambal, bagi mama, adalah penyempurna rasa. Walau hanya makan nasi dan tempe, kehadiran sambal membuat mulut mama tak ingin berhenti mengunyah.

Ada kebiasaan unik antara aku dan mama. Kami sering makan satu piring berdua. Hingga saat usiaku menginjak enam tahun, aku penasaran dengan rasa sambal. Sedikit demi sedikit kucicipi. Perlahan kurasakan getaran dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sungguh nikmat! Sejak itu aku tergila-gila pada sambal.

Beruntungnya aku tinggal di Indonesia. Beragam sambal dengan kekhasan daerahnya masing-masing. Dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Bahkan satu daerah bisa memiliki banyak varian sambal. Contohnya, Manado dengan sambal dabu-dabu, sambal rica-rica, dan sambal cakalang.

Sambal selain sedap disantap sebagai makanan berat, seperti nasi Padang dengan sambal lado mudo, juga cocok sebagai teman snack. Orang Indonesia tentu tidak asing dengan tahu sambal petis atau pisang goreng sambal roa. Bahkan sentuhan sambal hadir pula dalam buah. Rujak. Tak sanggup rasanya menolak. Apalagi memakannya bersama teman-teman sambil berbagi cerita. Dijamin, sepiring tak cukup!

Sambal Cakalang khas Manado

Sambal Cakalang khas Manado

Identitas

Food, in the end, in our own tradition, is something holy. It’s not about nutrients and calories. It’s about sharing. It’s about honesty. It’s about identity. -Louise Fresco-

Flores, pulau kecil di Nusa Tenggara Timur. Dalam bahasa Portugis, Flores berarti bunga. Pesona alam dan budayanya menarik jutaan orang menjejakkan kaki di sana. Entah sekadar berlibur atau hidup bertahun-tahun lamanya bersama masyarakat lokal. Tersohor dengan komodo, tenun, hingga kopi membuat masyarakat Flores semakin bangga akan tanah leluhurnya.

Flores, dari sanalah orangtuaku berasal. Dipisahkan oleh laut dan gunung tak membuat kami lupa akan daerah asal. Ibukota Jakarta dengan pergerakan yang demikian cepat membuat masing-masing orang berpacu, tak ingin tertinggal dari yang lain. Untuk memperkuat identitas, dalam beberapa kesempatan para perantau bertemu. Sambal menjadi pengikat. Mengingatkan para perantau untuk tak lupa pulang menengok keluarga di kampung halaman.

Kebersamaan saat mengolah makanan

Kebersamaan saat mengolah makanan

Sambal menjadi pemersatu mereka yang tak saling kenal. Bercakap-cakap mengenai nama fam sambil mengiris bawang merah, bawang putih, tomat, cabai, dan serai. Tak lupa menambahkan air jeruk nipis. Mengaduknya perlahan dan didiamkan beberapa menit.

Duduk mengelilingi makanan. Tersaji jagung titi*, ubi dan singkong rebus, ikan bakar, dan sayur rumpu rampe**. Sambal hadir bak primadona. Tandas dalam sekejap. Bagi orang Flores, rasanya makanan terasa hambar tanpa sambal. Ada kerinduan menyantap makanan ala kampung. Setelah lidah ini lebih sering dihinggapi rasa manis dan asin makanan di tanah rantau, kini sejenak merasakan pahit. Walau menggelitik, rasa pahit yang bersumber dari daun pepaya membawa makna tersendiri dalam diri para perantau. Bahwa hidup ini bagai gelombang, ada pasang dan surut yang mewarnai.

Bertukar kabar sambil menikmati santapan ala kampung halaman

Bertukar kabar sambil menikmati santapan ala kampung halaman

Keterangan:

*jagung titi: jagung yang disangrai kemudian dipipihkan menyerupai emping

**sayur rumpu rampe: tumis daun pepaya, daun singkong, kangkung, bunga pepaya, dan jantung pisang. Terkadang ditambahkan teri atau pepaya muda. Sayur rumpu rampe merupakan perpaduan rasa asin, pedas, dan gurih.