Sign up with your email address to be the first to know about new products, VIP offers, blog features & more.

Jauhkan Anak dari Penjara

Hukuman menghilangkan kebebasan seorang remaja harus merupakan keputusan yang bersifat pilihan terakhir dan untuk masa yang minimum serta dibatasi pada kasus-kasus luar biasa. (sumber foto: https://thehill.com)

“Kami adalah anak-anak dunia,

Kami adalah korban dari eksploitasi dan kekerasan

Kami adalah anak jalanan

Kami adalah anak-anak perang.

Kami adalah para terhukum dan yatim piatu HIV/AIDS

Kami tidak mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan pelayanan kesehatan

Kami adalah korban-korban dari situasi politik, ekonomi, kebudayaan, agama,

dan diskriminasi lingkungan

Kami adalah anak-anak yang suaranya tidak pernah didengar, sudah saatnya kami mulai diperhitungkan.

Kami menginginkan dunia yang layak bagi anak, karena dunia yang layak bagi kami adalah juga dunia yang layak bagi semua orang.

Anda boleh menyebut kami sebagai masa depan, tetapi kami juga adalah masa kini.”

(Pernyataan Anak-anak, disampaikan pada pembukaan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Special Session untuk Anak, 8 Mei 2002)

 

Anak adalah masa depan bangsa. Peran generasi muda sangat dibutuhkan. Oleh karena itu masa depan anak harus disiapkan sejak  saat ini. Dalam kaitannya dengan pendidikan di Indonesia, pemerintah harus mengupayakan suasana yang kondusif untuk perkembangan anak-anak. Namun faktanya  pemerintah belum mampu memenuhi hak anak. Hal tersebut terlihat dari masih adanya anak yang memerlukan perlindungan khusus, yakni anak yang berhadapan dengan hukum. Keterlibatan mereka dalam tindakan melanggar hukum membawa mereka menjalani hidup di Lembaga Pemasyarakatan Anak (Lapas Anak). Pada  Juli 2014 terdapat 3.488 anak di Lapas di  Indonesia (anak didik). Jumlah tersebut menurun pada  Maret 2015 menjadi 2.207 anak didik.

Sistem peradilan pidana yang dijalani anak dimulai dari tahap kepolisian. Tidak ada petugas khusus yang menangani tersangka anak saat penangkapan, pemeriksaan, dan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), sampai penahanan. Tidak hanya pihak kepolisian yang melakukan proses penangkapan, juga  ada campur tangan pihak lain, misalnya masyarakat atau satpam. Bahkan ada anak-anak yang tidak tahu penyebab mereka ditangkap.

Perlakuan polisi pada tahap pemeriksaan dan pembuatan BAP sangat tertanam dalam ingatan anak. Mereka menyebutnya sebagai pengalaman buruk yang  terkait dengan tindakan kekerasan yang  dilakukan polisi. Kekerasan lain yang kerap terjadi adalah pernyataan-pernyataan yang memojokkan anak untuk mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Padahal bukti awal belum cukup terkumpul. Bahkan bila mereka tidak mengaku,  mereka harus mengalami kekerasan fisik. Dalam proses penahanan, anak ditempatkan dalam satu ruangan dengan tahanan dewasa. Kekerasan sesama tahanan juga terjadi selama masa penahanan.

Di tahap kejaksaan, jaksa yang seharusnya melakukan pemeriksaan terhadap BAP yang telah dibuat oleh polisi justru memperkuat BAP dari polisi. Jaksa juga menakut-nakuti anak dengan ancaman hukuman yang berat. Bahkan bila anak bertindak kasar, jaksa bisa melakukan tindak kekerasan. Jaksa juga menawari “damai” kepada anak dengan meminta bayaran sejumlah uang.

Pada tahap selanjutnya yaitu tahap pengadilan dan pelaksanaan hukuman di Lapas Anak juga terdapat beberapa pelanggaran sebagai berikut, anak ditempatkan  bersama  tahanan dewasa lainnya dalam ruangan yang sempit dan sesak, tidak adanya bantuan hukum (pengacara) bagi anak, serta  ruang sidang memungkinkan orang lain di luar ruangan  melihat jalannya persidangan meskipun sebenarnya persidangan dinyatakan tertutup.

 

Persepsi Negatif

Salah satu faktor yang berperan dalam terjadinya pelanggaran terhadap prosedur sidang anak adalah rendahnya pemahaman aparat penegak hukum yang bertugas  (hakim dan jaksa) tentang undang-undang yang terkait dengan prosedur sidang anak. Rendahnya pemahaman hakim dan jaksa disebabkan kurangnya minat, perhatian, dan dedikasi terhadap permasalahan anak sehingga baik hakim maupun jaksa tidak berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan mengikuti  perkembangan masalah anak, termasuk di dalamnya peningkatan pengetahuan terhadap undang-undang yang terkait dengan masalah prosedur sidang pengadilan anak. Akibatnya terjadi sejumlah pelanggaran prosedur sidang anak yang berperan terhadap banyaknya putusan pidana penjara terhadap kasus kenakalan anak.

Semakin hari semakin banyak anak yang harus berhadapan dengan hukum, terjerumus dalam  sistem peradilan pidana yang belum ramah anak, dan terpaksa berakhir di Lapas baik Lapas Anak maupun Lapas Dewasa. Permasalahannya adalah  bagaimana semua pihak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana anak memperlakukan anak-anak, dari  tahap penangkapan dan penyelidikan oleh polisi hingga tahap menjalani hukuman di Lapas. Kenyataannya, hak-hak anak diabaikan ketika mereka terpaksa berhadapan dengan sistem peradilan pidana.

Ada suatu pandangan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, bahwa mereka sebisa mungkin dihindarkan dari keharusan untuk menjalani hukuman di Lapas. Anak dipandang belum dapat bertanggung jawab sepenuhnya terhadap tindakannya dan sebaiknya dibina di tengah masyarakat. Perlakuan, terutama dalam hal penegakan disiplin dan ketertiban terhadap anak-anak yang berada dalam Lapas seringkali menggunakan kekerasan, baik secara mental maupun fisik. Kekerasan yang mereka terima tidak hanya dilakukan oleh petugas Lapas, juga oleh narapidana yang lain. Bentuk kekerasan yang dialami oleh anak didik, antara lain perampasan hak dalam bidang sandang, pangan, sarana kesehatan, rekreasi, dan pendidikan.

Bentuk diversi atau mengalihkan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana anak harus lebih dikedepankan. (sumber foto: https://www.unicef.org)

Secara ideal, lapas seharusnya menjadi tempat pembinaan anak yang berhadapan dengan hukum untuk dapat berintegrasi dan beresosialisasi. Berada dalam lapas sendiri telah membatasi kebebasan mereka, termasuk dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi. Secara psikologis anak  merasa sebagai kelompok yang terbuang,  jahat, tidak dapat dipercaya sehingga pada akhirnya mereka merasa sudah tidak ada harapan lagi untuk dirinya di masa depan. Kondisi psikologis seperti ini dialami oleh hampir semua anak yang berada di Lapas, sehingga seringkali mereka tidak memiliki motivasi untuk diajak bicara dan merencanakan hidup setelah keluar dari Lapas.

Berada dalam lingkungan yang sarat dengan potensi kekerasan, batasan-batasan fisik yang kurang layak, serta kurangnya aktivitas produktif dan positif seringkali membuat anak didik berperilaku negatif yang bisa membahayakan diri mereka dan orang lain. Kapasitas ruang tahanan yang tidak memadai juga merupakan salah satu penyebab tidak kondusifnya situasi Lapas bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak, terutama perkembangan kejiwaan.

Persepsi negatif tentang anak-anak yang sedang bermasalah dengan hukum terjadi di kalangan petugas sendiri. Konsep hak anak, khususnya anak yang sedang berkonflik dengan hukum belum menjadi wacana di kalangan petugas, sehingga perlakuan mereka kurang merefleksikan pemenuhan dan penghargaan terhadap hak-hak anak. Tidak jarang sebuah permasalahan diselesaikan dengan kekerasan dan hukuman fisik.

 

Stigma

Fungsi sistem pemasyarakatan adalah menyiapkan warga binaan  agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Melalui pemberlakuan sistem pemasyarakatan,  seharusnya setiap warga binaan, termasuk anak didik ketika telah menyelesaikan masa hukumannya, dapat kembali berperan dalam masyarakat.

Masalah mendasar yang muncul ketika anak didik telah bebas dari Lapas adalah  stigma sebagai anak nakal atau anak jahat yang melekat pada diri mereka. Stigma tidak hanya berkembang di masyarakat, juga di keluarga. Akibatnya  anak tidak dapat berinteraksi dan bersosialisasi secara wajar, sehingga berdampak pada kehidupan sosial mereka selanjutnya. Tidak jarang peminggiran yang dialami anak  membuat mereka  kembali ke  lingkungan yang negatif, melakukan kembali kenakalan (kejahatan), hingga   menyeret mereka kembali ke Lapas.

Lapas Anak harus menjadi solusi terakhir dalam penyelesaian kasus anak yang disangka melanggar hukum. (sumber foto: https://www.dw.com)

Ketika anak  bebas dari Lapas, mereka tidak dapat langsung kembali ke keluarga atau masyarakat karena cap sebagai sampah masyarakat yang harus dijauhi. Kondisi ini juga didukung dengan minimnya pendidikan dan skill yang dimiliki, sehingga mereka tidak dapat bekerja seperti yang diharapkan. Kehidupan anak tidak berhenti setelah mereka bebas dari Lapas. Pengalaman menjalani kehidupan di Lapas  telah membentuk sebuah trauma tersendiri bagi anak-anak dan akan terbawa hingga  dewasa. Trauma ini mempengaruhi proses reintegrasi mereka  kembali ke masyarakat. Anak  tidak dapat berinteraksi secara “normal”.

Berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi anak yang berhadapan dengan hukum, berikut tiga solusi yang diharapkan dapat membantu:

  1. Semua unsur dalam sistem peradilan pidana memiliki tugas dan fungsi yang seharusnya diarahkan demi kepentingan terbaik anak. Sebagaimana yang termuat dalam Resolusi Majelis PBB No. 45/133 tanggal 14 November 1990 dan Beijing Rules bahwa hukuman menghilangkan kebebasan seorang remaja harus merupakan keputusan yang bersifat pilihan terakhir dan untuk masa yang minimum serta dibatasi pada kasus-kasus luar biasa. Apabila anak yang berhadapan dengan hukum terpaksa harus masuk dalam lembaga pemenjaraan, hak-hak anak harus tetap dipenuhi dan perlu disiapkan upaya untuk mereintegrasikan mereka dengan masyarakat ketika bebas.
  2. Indonesia telah memiliki perangkat hukum lokal mengenai anak yang berhadapan dengan hukum yakni Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang tersebut mengatur proses peradilan anak pada tahap penyidikan hingga penempatan anak dalam Lapas Anak. Tidak ada upaya dari undang-undang itu untuk menjauhkan atau menghindarkan anak dari sistem peradilan pidana anak mengingat dampaknya bagi tumbuh kembang anak. Ketika seorang anak telah melakukan kenakalan dan masuk dalam sistem peradilan pidana anak, seharusnya sedapat mungkin ia dijauhkan dari sistem peradilan pidana anak. Bentuk diversi atau mengalihkan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana anak seharusnya lebih dikedepankan.
  3. Penegakan hukum yang berkaitan dengan perlakuan terhadap anak yang disangka melanggar hukum agar sedapat mungkin menjauhkan anak dari proses peradilan dan menjadikan Lapas Anak sebagai solusi terakhir dalam penyelesaian kasus anak yang disangka melanggar hukum.