Sign up with your email address to be the first to know about new products, VIP offers, blog features & more.

Penantian Tiada Akhir

Sumber foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Istirahatlah_Kata-kata

Aku tidak ingin kamu pergi, aku tidak ingin kamu pulang, aku ingin kamu selalu ada.
Demikian ungkapan Sipon di hadapan suaminya Widji Thukul dalam film ‘Istirahatlah Kata-Kata’. Ia menangis terisak-isak usai melampiaskan kekesalannya pada tetangga yang mengatainya pelacur. Lantaran sehari sebelumnya tetangganya itu melihat Sipon memasuki hotel. Dugaan yang tidak sesuai kenyataan.
Ironis memang, melepaskan kerinduan dengan suami yang telah berbulan-bulan lari dari kejaran aparat harus dilakukan di sebuah hotel. Hal itu dilakukan karena Sipon tidak ingin suaminya ditangkap begitu tiba di rumah.
Sebagai sastrawan sekaligus aktivis, pada 1996 Widji sempat tinggal di Pontianak. Didukung dua temannya, Thomas dan Martin, mereka berusaha menyembunyikan identitas Widji yang sebenarnya. Widji mendapat nama baru, Paul. Berganti rupa dengan memangkas rambutnya yang gondrong hingga mendapat KTP baru.
Tidak mudah berada dalam pelarian selama di Pontianak. Widji harus selalu waspada. Sebagai contoh, ia tak pernah absen mengenakan topi setiap beraktivitas di luar rumah atau menyiapkan tali untuk melarikan diri jika aparat mendatangi rumah temannya.
Awalnya Widji hanya menghabiskan waktu di rumah, membaca dan menulis. Kebosanan yang melanda mendorong temannya membantu Widji mendapatkan pekerjaan. Tentunya semua itu dilakukan dengan penuh kehati-hatian.
Sementara itu tentara, polisi hingga intel tak pernah absen menyambangi rumah Widji di Solo. Tak sungkan-sungkan mereka menginterogasi Sipon dan dua anaknya, Fitri dan Fajar yang masih belia. Mereka merampas buku-buku kepunyaan Widji yang tersusun rapi dalam perpustakaan pribadi. Tetangga memilih bungkam, seolah tak ingin dikaitkan dengan pribadi Widji.
Suasana sangat genting. Rezim yang takut dengan kata-kata, demikian Widji menyebut pemerintahan pada masa itu.
Muncul pertanyaan dalam benak saya, mengapa sosok Widji berada dalam daftar nama incaran aparat? Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari berbagai sumber, Widji yang menggemari dunia sastra sejak SMP pada 1992 bergabung dalam demostrasi memprotes pencemaran lingkungan yang dilakukan sebuah pabrik tekstil. Bahkan pada 1995 mata kanannya mengalami cidera saat dibenturkan aparat dalam aksi pemogokan buruh.
Widji merupakan pimpinan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker), organisasi yang melawan pemerintahan Orde Baru. Selanjutnya Jakker bersama beberapa organisasi lain menggabungkan diri menjadi embrio Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Saat terjadi peristiwa penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta, PRD digadang-gadang sebagai dalangnya. Saat itu juga PRD ditetapkan sebagai partai terlarang. Imbasnya, semua pimpinan PRD diburu arapat, termasuk Widji yang menjabat sebagai ketua divisi propaganda.
Pendirian PRD pada 22 Juli 1996 di Jakarta bertentangan dengan UU No. 23/1985 yang menyatakan hanya ada tiga partai politik resmi di Indonesia. PRD oleh sekelompok orang dianggap berusaha menggulingkan pemerintahan yang ada. Walaupun demikian PRD dibentuk dengan tujuan terlibat dalam perjuangan buruh, petani, dan kaum miskin kota.
Pada adegan Widji menelepon Sipon di wartel, terdengar alunan lagu Darah Juang. Lagu yang sering dinyanyikan di demonstrasi khususnya oleh mahasiswa tersebut membawa suasana menjadi sendu. Berikut petikan liriknya,  “Di negeri permai ini berjuta rakyat bersimbah ruah, anak kurus tak sekolah, pemuda desa tak kerja, mereka dirampas haknya tergusur dan lapar, Bunda relakan darah juang kami padamu kami berbakti”.
Sejenak saya terkenang pada masa awal memasuki perkuliahan. Ketika mahasiswa mengikuti ospek, lagu tersebut adalah salah satu lagu yang berulang kali dinyanyikan. Membangkitkan patriotisme untuk membela mereka yang lemah.
Wartel juga membangkitkan memori saya menghubungi teman saat telepon rumah tidak bisa digunakan. Dalam film ini, wartel menjadi penghubung antara dua insan yang saling mencintai tapi terpisah jarak. Mereka memberi kabar satu sama lain. Walaupun percakapan itu terbilang singkat, ada rindu yang seolah dihembuskan. Rindu yang memberi energi untuk saling menguatkan.
Film ini menurut saya terkesan minim kata. Mungkin kesan sunyi sekaligus mencekam sengaja ditonjolkan untuk mendukung jalannya cerita.
Di akhir film disampaikan, Widji sempat kembali ke Pontianak pada Februari 1997. Selanjutnya ia bertolak ke Jakarta, bergabung dengan gerakan menggulingkan Soeharto. Sebulan sebelum Soeharto lengser pada Mei 1998, Widji hilang. Keberadaannya tidak diketahui hingga kini.
Sebelumnya saya tidak mengetahui Widji Thukul. Melalui film ini saya diajak menyelami kehidupannya yang tentu tidak mudah dijalani. Kebebasan berekspresi yang diungkapkan melalui untaian kata dalam puisi-puisinya dipandang beberapa pihak mengkritik pemerintah.
Tidak mudah pula kehidupan yang dilakoni Sipon bersama anak-anaknya. Mereka tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah. Saat Widji hilang, Fajar masih berusia 5 tahun. Tidak banyak memori yang tersimpan pada anak seusianya.
Menanti, sungguh tidak pasti. Menanti menjadi kata yang mau tidak mau diterima Sipon dalam kamus hidup keluarganya. Menapaki hari demi hari tanpa keberadaan belahan jiwa. Di relung hati Sipon hanya ada satu nama yang terpatri, Widji Thukul. Nama yang diucapkannya pertama kali saat memasuki kamar hotel setelah berbulan-bulan tak bersua.
Film ‘Istirahatlah Kata-Kata dirilis pada 2017. Film bergenre fiksi sejarah tersebut disutradarai oleh Yosep Anggi Noen dan dibintangi oleh Gunawan Maryanto dan Marissa Anita.
Film ‘Istirahatlah Kata-Kata’ yang ditayangkan di TVRI pada 16 Juni lalu merupakan bagian dari Program Belajar dari Rumah. Program yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut merupakan alternatif pembelajaran bagi pelajar yang terdampak pandemi COVID-19.