Sign up with your email address to be the first to know about new products, VIP offers, blog features & more.

Hutan Sagu, Ibu bagi Masyarakat Papua

Semangkuk papeda yang terbuat dari sagu. (foto dokumentasi pribadi)

Sagu, Benih Kebaikan.  Ada antusiasme dan rindu yang membuncah saat menulis tentang papeda. Mungkin  karena lengketnya papeda yang kumakan, membuat ingatanku lekat akan  Papua. Silakan mencicipi papeda dan biarkan sensasinya mengalir dalam diri Anda!

Menyantap papeda serasa menghadirkan kembali beribu kenangan akan Papua. Walaupun hanya empat bulan merasakan hidup sebagai masyarakat Jayapura, memori akan provinsi di ujung timur Indonesia itu tak pernah pudar.

Tak lama setelah kembali ke Jakarta, lidah ini ingin sekali merasakan lagi kelembutan papeda, kehangatan ikan kakap kuah asam, dan gurihnya kangkung tumis bunga pepaya. Ternyata di Jakarta ada beberapa rumah makan dengan menu khas Papua, salah satunya Yougwa Restaurant yang berlokasi di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Tanpa perlu jauh-jauh ke bumi cenderawasih, papeda bisa dinikmati di ibukota. Rasa papeda ini tak beda jauh dengan papeda di Jayapura. Sekilas bentuk papeda menyerupai lem, lengket, dan berwarna putih.

Memindahkan papeda dari mangkuk ke piring terlihat cukup unik. Papeda itu digulung seperti memintal dengan (semacam) sumpit. Rasa tawar papeda harus  dilengkapi dengan kuah asam dan meletakkan beberapa potong ikan kakap. Hati-hati, jangan sampai tertelan duri ikan kakap ini. Tak lupa tambahkan beberapa sendok kangkung tumis bunga pepaya dan sambal.

Papeda dengan ikan kuah kuning dan tumis bunga pepaya. (foto dokumentasi pribadi)

Bayangkan, ada beragam sensasi yang akan dirasakan. Kenyalnya papeda, asamnya kuah, lembutnya ikan, pahit dan gurihnya kangkung bunga pepaya, serta pedasnya sambal.

Mulut ini serasa ingin terus mengunyah tanpa menyadari peluh perlahan turun membasahi wajah. Jangan lupa selalu sertakan minuman dingin untuk mengurangi rasa pedas.

Papeda, ikan kuah asam, dan kangkung bunga pepaya ini sungguh perpaduan yang aduhai. Mengapa demikian? Selain kelezatannya yang tak diragukan lagi, nilai gizi yang dikandungnya sangat menunjang tubuh dalam beraktivitas seharian. Apalagi papeda kaya serat dan rendah kolesterol. Oleh karena itu papeda menjadi makanan pokok orang Papua dan Maluku. Tak pernah terlewatkan.

Tanah Papua tidak hanya menawarkan keelokan paras alamnya, juga kuliner. Papeda juga baik untuk kesehatan karena rendah kolesterol, kaya akan serat, dan bernutrisi. Hebatnya lagi, mengonsumsi papeda secara rutin diyakini dapat meningkatkan kekebalan tubuh, mengurangi risiko kanker paru paru, dan mencegah obesitas.

Tingginya kadar serat dalam sagu berperan sebagai prebiotik, menjaga mikroflora usus  meningkatkan kekebalan tubuh, mengurangi risiko terjadinya kanker usus, mengurangi risiko terjadinya kanker paru-paru, mengurangi risiko kegemukan atau obesitas, serta memperlancar buang air besar. Mengonsumsi papeda secara rutin dipercaya mampu menghilangkan penyakit batu ginjal karena perannya sebagai pembersih organ-organ di dalam tubuh. Mereka  yang sering merokok dianjurkan mengonsumsi papeda karena dapat membersihkan paru-paru secara perlahan.

Kandungan potasium di dalam sagu dipercaya bisa meningkatkan sirkulasi darah dan keseluruhan sistem kardiovaskular. Tidak heran sagu menjadi salah satu pengobatan terkenal untuk masalah hipertensi. Sagu juga bisa memperlancar sistem pencernaan, sagu membantu dalam penyembuhan keseluruhan sistem pencernaan. Sejak dulu sakit digunakan untuk menyembuhkan penyakit pencernaan, seperti kembung, sembelit, asam lambung, maag dan gangguan pencernaan lainnya. Sagu meningkatkan produksi enzim pencernaan dan pergerakan usus secara keseluruhan dengan melindungi usus agar tidak kering. Itu sebabnya biasanya sagu diresepkan untuk pasien penyakit muntaber karena mampu memberikan efek menenangkan dan mendinginkan perut dari rasa sakit.

Selain papeda, ada hidangan khas Ambon yang tak kalah enaknya, kue kering berbahan dasar sagu. Aneka olahan kue sagu dibuat dengan variasi , salah satunya sarut kenari. Bahan yang digunakan sederhana, kenari yang sudah dicincang, mentega, telur, gula aren cair, dan tepung sagu.  Kue berbahan dasar sagu butuh panas yang tinggi supaya sagu bisa matang sempurna karena sagu memiliki sifat agak basah.

 

Identitas Masyarakat Papua

Ada romantisme kisah yang mengiringi setiap suapan papeda. Sagu adalah makanan pokok masyarakat Papua yang tinggal di dataran rendah, rawa, atau pesisir. Begitu pentingnya sagu bahkan dijadikan seserahan dalam pernikahan adat.

Sagu tumbuh secara berkoloni dengan kerapatan yang cukup tinggi. Ada beberapa kawasan di Papua yang mempunyai kerapatan sagu yang cukup besar, seperti Jayapura, Bonggo, Sarmi, Waropen, Nabire, Manokwari, Yapen, Sorong, dan beberapa pulau di Raja Ampat.

Ada yang sudah lama tersimpan di tanah Papua, sagu. Makanan karbohidrat yang melimpah ini bisa menolong manusia dari kerusakan alam karena sagu tumbuh secara alamiah di tanah Papua. Tidak seperti gandum yang harus ditanam secara berkala, memerlukan air yang banyak, dan harus mengimpor dalam jumlah yang besar, sagu justru asli dari tanah Papua, negeri tercinta Indonesia.

Kandungan karbohidrat dalam jumlah banyak di dalam sagu bisa menjadi alternatif yang sangat baik sebagai suplemen alami penambah energi di dalam tubuh. Tubuh kita membutuhkan energi untuk relaksasi pasca melakukan olah raga yang berat. Sagu dapat membantu mengisi kembali energi yang hilang.

Sagu diperoleh dengan proses yang tak mudah. Dahulu masyarat menggunakan alat tokok sagu yang memakan waktu berhari-hari untuk memarut satu batang sagu yang berusia di atas 15 tahun. Kini masyarakat terbantu dengan alat pemarut kelapa yang dimodifikasi menjadi alat parut sagu. Proses pemarutan batang sagu seukuran betis orang dewasa menjadi lebih mudah dan hemat waktu dengan hasil yang lebih banyak.

Meskipun demikian masih ada masyarakat yang menggunakan teknik memarut sagu dengan cara manual agar cita rasa sagu lebih enak. Selanjutnya dilakukan proses penyaringan untuk mendapat saripati dari sagu.

Sagu yang sudah hancur dimasukkan ke wadah penyaringan lalu disiram air berkali-kali. Oleh karena itu penyaringan harus dilakukan berdekatan dengan sumber air bersih dan jernih dari pegunungan yang mengalir ke sungai.

Selanjutnya dilakukan proses pemerasan. Tujuannya saripati sagu akan lebih mudah keluar dan tertampung di bak penampungan. Terus siram agar air menjadi lebih bening. Air yang bening menandakan saripati sagu sudah habis.

Buang ampasnya. Saripati sagu akan dibiarkan mengendap seharian. Buang airnya. Ambil  endapan sagu dan simpan dalam wadah penyimpanan yang terbuat dari daun.

Pohon sagu yang ditebang dan dibiarkan membusuk juga menghasilkan larva atau ulat sagu yang nikmat dan kaya protein. Kandungan protein pada ulat sagu mampu meningkatkan kecerdasan dan keaktifan pada masa pertumbuhan anak-anak dan remaja.

Kebiasaan masyarakat yang memakannya dalam kondisi mentah selama tidak menghasilkan suatu reaksi bukan merupakan persoalan. Namun mereka yang tidak terbiasa mengonsumsi mentah, sebaiknya mengolah ulat sagu tersebut. Setidaknya ulat sagu cukup aman dari zat-zat yang  mampu memicu tingkat alergi seseorang yang mengalami ketidakstabilan imunitas atau kekebalan tubuh.

Memarut atau pangkur sagu dilakukan oleh kaum pria. Tak hanya itu, mereka juga bertugas menebang dan menguliti sagu. Selanjutnya kaum wanita memisahkan  serabut kasar dengan serpihan halus (disebut mele atau ramas sagu). Proses penebangan hingga menjadi pati sagu dilakukan oleh  minimal empat  orang.

Sagu bisa ditebang di atas usia 10 tahun dan di bawah usia 15 tahun. Bahkan ada pohon sagu yang usianya mencapai puluhan tahun. Pada usia itu sagu  menghasilkan pati yang baik dan banyak.  Satu batang sagu dengan usia di atas 15 tahun akan menghasilkan delapan hingga sembilan karung dengan berat masing-masing mencapai 50 kg. Dijual dengan harga Rp 250 ribu-Rp 300 ribu per karung.

Sayangnya jumlah pohon sagu di Sentani, Papua mulai berkurang karena masyarakat menjual lahan untuk didirikan ruko. Hutan sagu yang rusak  akan mengurangi jumlah  ikan di Danau Sentani.

Padahal dahulu hutan sagu masih terpelihara dan menjadi tempat  masyarakat Papua bergantung hidup. Hutan adalah sumber hidup dan kehidupan, hutan sumber makanan. Sagu tidak hanya sebagai identitas masyarakat  Papua, juga secara finansial berperan aktif dalam perekonomian masyarakat. Sagu juga bisa dijadikan sumber pendapatan bagi masyarakat, kebangkitan ekonomi  baru yang sangat menjanjikan untuk dikembangkan.

 

Potensi

Luas hutan sagu di Indonesia sekitar 1,25 juta ha dengan budidaya sagu kurang lebih 148 ribu ha. Papua merupakan pusat sebaran sagu alami terbesar di dunia dengan perkiraan areal kurang lebih 1,2 juta ha atau 53% dari sagu dunia (2,25 juta ha) dan 96% dari luas sebaran alami sagu Indonesia.

Sagu di Indonesia sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal, baik secara  alami maupun budidaya. Padahal masyarakat di Papua dan Maluku secara turun temurun mengonsumsi sagu.

Sagu ternyata berpotensi diolah menjadi energi untuk mengatasi krisis pangan dan energi nasional sebagai sumber bahan baku bioetanol. Oleh sebab itu, pohon sagu harus dibudidayakan karena memiliki nilai tinggi dan menjadikan Papua lebih sejahtera.

sumber foto: pelitariau.com

Sagu dapat dibiarkan tumbuh apa adanya. Sagu yang tumbuh secara alamiah nyatanya belum secara optimal dimanfaatkan. Sagu memang sudah lama dikonsumsi orang Papua tetapi belum ada yang membawanya ke skala nasional dan skala global.

Sagu yang dipanen secara berkala mampu menambah devisa dan membantu menyehatkan seluruh anak bangsa bahkan menyehatkan dunia. Selain itu sagu bisa membantu mengurangi emisi global yang semakin mengkhawatirkan.

Tanaman yang masuk dalam jenis palem ini tidak repot dalam perawatannya. Di tahun-tahun pertama cukup secara aktif dijaga dengan cara membersihkan sagu dari rumput-rumput sekitar. Sagu tidak perlu ditambahkan pupuk. Ketika usianya di atas lima tahun, sagu dapat dikatakan tangguh dan mampu tubuh besar dengan sendirinya.

Masyarakat lokal yang masih mempunyai hutan sagu seharusnya tidak perlu   khawatir akan ketersediaan makanan. Pasalnya hutan sagu menghasilkan sayuran seperti pakis dan jamur serta hewan seperti tikus tanah. Ikan dan udang juga memanfaatkan akar sagu pada tepian danau dan sungai.

Pohon sagu sangat multifungsi.  Setiap bagian pohon sagu memberi manfaat bagi masyarakat, mulai dari sumber makanan hingga material membuat rumah.

Daun sagu dapat dianyam menjadi atap rumah, dinding batang sagu bagian luar dibentuk menjadi  alas berpijak rumah bertiang, akar sagu dibentuk menjadi alat penggembur tanah atau sekop kecil. Selain itu pelepah sagu dimanfaatkan sebagai media untuk meramas sagu atau  rumah ikan di dalam danau, sungai, atau rawa. Sementara serat sagu yang ditinggalkan akan ditumbuhi berbagai jamur yang bergizi tinggi dan mengandung antibiotik yang baik untuk ibu pasca melahirkan.

Pohon sagu tidak hanya memberi keuntungan kepada masyarakat peramu sagu, juga dunia. Pertama, pohon sagu merupakan penghasil oksigen terbesar dibandingkan tumbuhan lainnya. Hal tersebut menjadi penting mengingat lapisan ozon semakin menipis dan suhu  bumi semakin panas. Kedua,  nilai ekonomi yang tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa sagu mampu menghidupi dunia. Jika pohon sagu  ditanam seluas 200 ha mampu menghidupi seluruh Asia.

Pada 2015 lalu Chef Bara Pattiradjawane mendemokan cara pembuatan papeda dalam Ubud Food Festival yang dihadiri juga oleh turis mancanegara. Sementara pada 2013 silam papeda diikutsertakan dalam Festival Makanan Indonesia di Vanimo, Papua New Guinea. Sosialisasi papeda yang semakin gencar baik di dalam maupun di luar negeri diharapkan mampu membukakan mata banyak orang bahwa makanan dari Indonesia Timur tak kalah dengan makanan dari wilayah Indonesia lainnya.

Cintailah Indonesia dengan segala keragamannya.

 

Pangan Alternatif

Papua merupakan basis terbesar tumbuhnya sumber pangan alternatif, yaitu sagu. Kandungan gula yang rendah membuat sagu menjadi sumber pangan yang paling menyehatkan untuk dikonsumsi dibandingkan beras dan gandum. Apalagi tepung sagu tidak mengandung gluten.

Hutan adalah pasar bagi orang Papua. Pasar dalam arti yang sebenarnya yakni tempat yang menyediakan segala bentuk kebutuhan, mulai dari sandang, pangan, dan papan. Secara tradisi, orang Papua hidup meramu dari apa yang disediakan hutan. Satu di antara hasil hutan yang menjadi makanan pokok orang Papua adalah pohon sagu.

Sagu yang saat ini dikonsumsi orang Papua merupakan hasil tanam nenek moyang. Secara umum orang Papua di gunung makan umbi-umbian sedangkan sagu dikonsumsi orang Papua di pesisir.

sumber foto: pantaugambut.id

Bagi orang Papua, pohon sagu bak ibu yang memberi segala kebutuhan. Pohon ini menjadi bahan pakaian, makanan, rumah, dan ekosistem. Satu batang pohon sagu berarti kehidupan bagi mereka. Satu batang pohon sagu menyimpan tradisi, budaya, ekonomi, dan peradaban orang asli Papua.

Dari 1,2 juta Ha hutan sagu baru 35 ribu Ha yang diolah dengan produksi 28 ribu ton per tahun. Menjaga sagu berarti menjaga harapan menuju kedaulatan pangan nusantara. Sagu adalah pusat kosmis spiritualitas orang Papua, penghubung kebaikan leluhur dan jaminan hidup di masa depan.

Sagu adalah mitologi. Orang Papua menghargai jasa leluhur dan nenek moyang yang bekerja keras menanam sagu. Orang Papua hanya mengambil dari alam sesuai yang dibutuhkan saja, tak lebih dari itu. Sagu memiliki peran penting dalam setiap aspek kehidupan orang Papua, dari mas kawin sampai status sosial di dalam masyarakat.

Sentani sebagai pusat sagu di seluruh tanah Papua memiliki 17 jenis sagu; 16 jenis sagu ditanam dan 1 jenis sagu tumbuh secara alamiah. Masyarakat Sentani memiliki sistem pengetahuan terhadap sagu yang melekat pada struktur organisasi politik mereka.

Masyarakat Abar di Sentani setia mengolah sagu dengan peralatan dari kayu dan gerabah. Gerabah dan sagu, satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sempe misalnya memiliki tempat istimewa bagi masyarakat Abar. Mereka pantang menyantap papeda dalam wadah plastik.

Sagu selalu hadir dalam siklus kelahiran hingga kematian masyarakat Papua. Setiap sagu yang dikonsumsi menjadi jembatan mereka mengingat leluhur. Setelah menebang, mereka menanam kembali agar anak cucu dapat merasakan benih kebaikan yang sama.

Di Kampung Abar ada pohon sagu yang batangnya dikonsumsi untuk roti. Biasanya jenis pohon sagu itu ditebang saat masa paceklik. Ada juga sagu yang bisa menghasilkan gula.

Tidak ada yang terbuang dari setiap batang sagu yang ditebang. Selain sagu yang dimakan, daun digunakan untuk alat penyaring. Pelepah untuk dinding rumah. Kulit untuk kayu bakar.

Sagu hadir untuk orang Sentani agar bisa bertahan hidup dari dulu, sekarang dan di masa datang. Itulah mengapa orang Papua menyebutnya sebagai pohon kehidupan.

Hutan adalah tempat kita mencari makan. Selama ada hutan orang Papua tidak perlu mengeluarkan uang untuk makan. Hutan adalah ibu orang Papua yang memberi kasih sayang sejati. Itulah yang membuatnya bertahan dan mempertahankan kedaulatan pangan dengan sepiring sagu yang menemani hari-hari masyarakat.

Di tengah keterpurukan dan keterancaman karena kebijakan pangan nasional yang masih identik dengan beras, masyarakat Papua masih mengonsumsi sagu. Berdasarkan analisa WHO pada 2050 populasi global akan meningkat sampai 9,3 miliar penduduk. Produksi pangan diprediksi naik 60%-70% untuk memenuhi kebutuhan pangan global.

Kita butuh suplai pangan yang bisa bertahan dari perubahan iklim. Perubahan iklim menjadi masalah besar bagi kita. Sagu adalah ibu, relasi antara manusia dan alam, menyediakan semua kebutuhan kita serta merawat dan melindungi orang Papua. Bahkan sagu  direkomendasikan Badan Restorasi Gambut untuk menjadi vegetasi yang bisa memperbaiki lahan gambut.

Degradasi lahan yang saat ini terjadi akibat aktivitas pertanian, peternakan bahkan kelautan sudah berubah karena aktivitas manusia yang alasan paling besarnya adalah pangan. Kegiatan pertanian dan peternakan merupakan faktor terbesar degradasi lahan dan kehancuran ekosistem, 75% lahan dan 66% wilayah telah diubah secara signifikan oleh manusia. Pangan global akan menurun 23% akibat degradasi lahan.

Terkait permasalahan tersebut, sagu menjadi salah satu yang direkomendasikan. Bahkan Jepang punya minat yang besar terhadap sagu hingga mengadakan simposium sagu sebanyak 12 kali. Permintaan pasar dunia terhadap sagu pada 2016 mencapai 72 juta ton, mencakup Jepang, Thailand, Tiongkok, Uni Eropa hingga Amerika.

Ada satu kebijakan yang luar biasa di tengah masyarakat adat ketika memanen satu pohon sagu, mereka diminta menanam 10 pohon sagu. Kebijakan masyarakat adat tersebut sangat luar biasa sehingga kelestarian sagu tetap terjamin. Sudah saatnya masyarakat mengembalikan citra sagu sebagai bahan pangan pokok masyarakat yang kini tergantikan oleh beras.

Restoran atau hotel di Papua didorong menempatkan makanan dengan bahan sagu pada urutan pertama. Dengan demikian permintaan sagu akan tumbuh, produksi sagu masyarakat bisa terserap, dan industri skala UMKM terus bertumbuh. Diharapkan sagu mampu memenuhi kebutuhan pangan lokal hingga diekspor mengingat permintaannya yang besar. Mari kita semua termasuk lembaga lainnya seperti WALHI mengembalikan sagu sebagai makanan khas Papua yang memberikan nilai tambah baik kesehatan maupun ekonomi masyarakat.